DALAM lanskap tata kelola keuangan negara, pembahasan soal pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah menjadi hal umum. Namun, di tengah gencarnya pelimpahan wewenang ke daerah sejak era reformasi, pembahasan mengenai kewenangan fiskal daerah sebagai sasaran akuntansi sektor publik masih belum banyak dikupas secara mendalam. Padahal, dinamika fiskal daerah inilah yang semakin hari memiliki peran besar terhadap arah pembangunan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Otonomi daerah telah memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengelola anggaran mereka sendiri melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini menjadikan daerah bukan sekadar pelaksana kebijakan pusat, tetapi juga sebagai subjek utama dalam siklus keuangan negara. Dalam konteks akuntansi sektor publik, hal ini berarti pertanggungjawaban keuangan tidak lagi terpusat, tetapi menyebar ke berbagai entitas daerah. Maka, kewenangan fiskal daerah bukan hanya perihal politik dan kebijakan, tapi juga soal akuntabilitas dan transparansi publik yang makin kompleks.
Kewenangan fiskal di daerah mencakup empat aspek utama: pengumpulan pendapatan asli daerah (PAD), alokasi belanja daerah, pengelolaan aset daerah, dan pelaporan keuangan yang sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010, SAP berbasis akrual telah diwajibkan untuk meningkatkan kualitas informasi keuangan pemerintah. Namun, dalam praktiknya, masih banyak pemerintah daerah yang belum optimal menerapkannya, terutama dalam pengakuan pendapatan, belanja berbasis kinerja, dan pengendalian aset tetap.
Menurut Ratnawati (2009), pelaksanaan desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong peningkatan belanja negara, karena pusat harus mentransfer dana dalam jumlah besar ke daerah. Namun, tantangan utama bukan pada jumlah transfer dana, melainkan pada kesiapan daerah dalam mengelola dana tersebut secara efektif dan akuntabel. Jika pengelolaan ini lemah, maka risiko pemborosan, penyimpangan anggaran, dan rendahnya outcome pembangunan akan sangat tinggi.
Pentingnya kewenangan fiskal daerah sebagai fokus akuntansi sektor publik semakin terlihat saat kita menyoroti asas akuntabilitas dan keterbukaan, dua dari delapan asas pengelolaan keuangan negara. Daerah kini dituntut tidak hanya mampu menyerap anggaran, tetapi juga harus mempertanggungjawabkannya secara terbuka kepada publik. Ini menuntut penguatan kapasitas SDM akuntansi publik di daerah, sistem pelaporan yang terintegrasi, serta pengawasan yang lebih ketat.
Lebih lanjut, sistem akuntansi pemerintah daerah idealnya juga memiliki karakteristik terintegrasi dan seragam, sebagaimana ditegaskan dalam materi kuliah. Sistem ini harus mampu mencatat dan melaporkan setiap transaksi secara transparan, menghindari manipulasi, serta menyajikan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan dan evaluasi program pemerintah.
Di tengah desakan reformasi birokrasi dan penguatan good governance, kewenangan fiskal daerah perlu menjadi titik tekan baru dalam pengembangan praktik dan kajian akuntansi sektor publik. Ini penting bukan hanya untuk efisiensi keuangan, tetapi juga demi mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan fiskal yang sesungguhnya. Akuntan publik dan sektor akademik harus mulai beralih dari diskusi klasik APBN ke ranah yang lebih aktual: bagaimana daerah mengelola kekuasaan fiskal barunya dengan cerdas dan bertanggung jawab.
Penulis:
Safia Nandini (221011201775)
Mahasiswi Akuntasi, Universitas Pamulang
Pada Mata Kuliah Akuntansi Sektor Publik oleh Meta Nursita S.E., M.Ak.
Tulisan dibuat dalam rangka tugas kuliah.







