BEBERAPA tahun belakangan, belanja online sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia. Dari belanja kebutuhan harian, elektronik, fashion, hingga makanan, semua bisa dilakukan hanya melalui smartphone. Salah satu alasan utama yang membuat e-commerce begitu diminati adalah adanya program gratis ongkir fasilitas andalan yang sering dijadikan daya tarik utama oleh berbagai platform.
Namun, kini strategi pemasaran ini mulai mengalami perubahan. Platform besar seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada mulai membatasi promo gratis ongkir, hanya hadir pada waktu-waktu tertentu, biasanya tiga hari dalam satu bulan. Bagi banyak pengguna setia, kebijakan ini cukup mengejutkan, mengingat mereka sudah terbiasa menikmati fasilitas tersebut kapan saja. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dampaknya bagi pembeli, penjual, dan industri e-commerce itu sendiri?
Sejarah Gratis Ongkir: Dari Promo Menarik Jadi Fitur Wajib
Pada awal kemunculannya, gratis ongkir adalah semacam bonus yang membuat pembeli semakin tergoda untuk checkout. Namun, seiring waktu, program ini berkembang menjadi fitur standar yang dituntut oleh pengguna. Banyak riset menunjukkan bahwa ongkos kirim yang tinggi menjadi penyebab utama seseorang mengurungkan niat belanja online.
Maka tak heran jika hampir semua platform berlomba-lomba memberikan promo bebas ongkir, bahkan setiap hari. Tanpa syarat yang rumit, pengguna pun semakin termanjakan dan menjadikan gratis ongkir sebagai pertimbangan utama sebelum membeli.
Namun, di balik kenyamanan ini, perusahaan harus menanggung beban besar. Biaya logistik yang terus meningkat membuat banyak platform harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit demi mempertahankan loyalitas konsumen.
Mengapa Kini Dibatasi?
Langkah membatasi promo gratis ongkir tidak lepas dari dorongan untuk lebih efisien dalam pengelolaan biaya. Di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu dan desakan investor untuk mencetak keuntungan, e-commerce harus lebih selektif dalam mengalokasikan anggaran mereka.
Jika sebelumnya subsidi ongkir digunakan sebagai senjata promosi, kini ia dianggap sebagai pengeluaran yang kurang produktif. Terlebih lagi, ongkos pengiriman ke wilayah-wilayah terpencil bisa sangat mahal dan menambah beban operasional.
Dengan hanya memberikan gratis ongkir selama tiga hari dalam sebulan biasanya di momen spesial seperti 9.9, 11.11, atau saat gajian platform dapat menghemat miliaran rupiah setiap bulannya, sembari tetap menjaga antusiasme pembeli lewat kampanye-kampanye besar.
Dampak Bagi Konsumen: Lebih Hemat Tapi Juga Terburu-buru
Untuk konsumen, kebijakan ini membawa perubahan besar. Mereka kini harus lebih bijak dan terencana dalam berbelanja. Jika sebelumnya bisa checkout kapan saja, kini harus menunggu hari promo agar bisa menghemat biaya pengiriman.
Namun, dampak lainnya adalah munculnya rasa terburu-buru. Banyak pengguna merasa harus segera membeli saat promo berlangsung agar tidak ketinggalan. Fenomena ini dikenal dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out), di mana orang membeli bukan karena kebutuhan, tapi takut kehilangan kesempatan.
Konsumen di daerah luar kota atau wilayah yang jauh dari pusat logistik pun ikut terdampak. Jika sebelumnya mereka sangat terbantu oleh gratis ongkir, kini mereka harus kembali mempertimbangkan efisiensi biaya antara belanja online dan offline.
Dampak Bagi Penjual: Laba Tinggi Tapi Tidak Stabil
Bagi para penjual, hari-hari promo menjadi waktu emas. Penjualan bisa melonjak tajam dalam waktu singkat. Tapi di balik itu, ada tantangan besar: mereka harus menyiapkan stok lebih banyak, mempercepat proses pengiriman, dan siap menerima lonjakan pertanyaan dari pelanggan.
Sayangnya, situasi ini tidak stabil. Setelah masa promo usai, penjualan bisa langsung turun drastis. Ini membuat penjual kesulitan merencanakan keuangan dan stok barang dengan konsisten.
Meski begitu, adanya jadwal promo yang pasti membuat penjual dapat menyusun strategi promosi yang lebih tepat, seperti memberikan diskon tambahan, bundling produk, atau membuat konten iklan yang lebih menarik di masa-masa tersebut.
Dampak Bagi Platform: Efisiensi Jangka Panjang
Bagi perusahaan e-commerce, membatasi gratis ongkir adalah langkah rasional untuk menghemat pengeluaran. Dengan menekan biaya subsidi dan memusatkan transaksi di hari-hari tertentu, platform bisa menjalankan sistem operasional dengan lebih efisien dan terukur.
Namun, kebijakan ini juga memiliki risiko. Lonjakan pengunjung di hari promo bisa menyebabkan server overload, pengiriman yang tertunda, hingga komplain pelanggan yang membludak. Jika tidak ditangani dengan baik, hal ini bisa berdampak pada reputasi platform.
Di saat yang sama, platform juga harus terus melakukan inovasi. Ketika gratis ongkir tak lagi menjadi daya tarik utama, harus ada strategi baru untuk menjaga pengguna tetap setia. Misalnya dengan menawarkan program loyalitas, fitur live shopping, atau meningkatkan kualitas layanan pelanggan.
Saatnya E-Commerce Lebih Seimbang
Membatasi gratis ongkir menjadi tiga hari dalam sebulan adalah bentuk kompromi antara kepentingan konsumen dan keberlangsungan bisnis. Platform bisa tetap memberikan promo yang ditunggu-tunggu, namun dengan skema yang lebih efisien. Sementara itu, pengguna belajar untuk berbelanja dengan lebih cermat, tidak tergesa-gesa, dan hanya membeli yang benar-benar dibutuhkan.
Bagi penjual, strategi ini menjadi tantangan sekaligus peluang. Mereka bisa menyusun rencana bisnis jangka panjang berdasarkan pola promo yang lebih terstruktur. Dan untuk industri e-commerce secara keseluruhan, inilah momentum untuk beralih dari sekadar perang promo menuju peningkatan kualitas layanan dan pengalaman pengguna.
Ke depan, adaptasi dan inovasi akan menjadi kunci sukses di dunia digital. Siapa pun-baik konsumen, penjual, maupun platform yang bisa cepat menyesuaikan diri, akan menjadi pemimpin dalam era baru e-commerce ini.
Apakah kamu merasa strategi ini menguntungkan? Atau justru membuat pengalaman belanja jadi kurang nyaman? Tulis pendapatmu dan mari berdiskusi!
Referensi:
Laudon, K. C., & Traver, C. G. (2021). E-Commerce: Business, Technology, Society (16th ed.). Pearson.
Turban, E., Pollard, C., & Wood, G. (2018). Electronic Commerce: A Managerial and Social Networks Perspective (9th ed.). Springer.
Aripin, Z. (2021). E-Business: Strategi, Model, dan Penerapannya. Yogyakarta: Deepublish.
Koufaris, M. (2002). Applying the Technology Acceptance Model and Flow Theory to Online Consumer Behavior. Information Systems Research, 13(2), 205–223.
Katadata.co.id. (2024). E-Commerce Pangkas Program Gratis Ongkir, Ini Alasannya.
Kominfo. (2023). Transformasi Digital dan Strategi Ekonomi Digital Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Penulis:
Diah Suci Rahayu
Natasya Ridhatu Adha
Mahasiswa Program Studi S1 Akuntansi Universitas Pamulang







