BELANJA online sudah menjadi kebiasaan yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, apalagi bagi generasi Z. Dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh aplikasi e-commerce, kini semua barang bisa dibeli hanya dengan sentuhan jari. Salah satu fitur yang makin digemari adalah paylater. Fitur ini memungkinkan seseorang membeli barang sekarang dan membayarnya di kemudian hari. Bagi sebagian orang, terutama anak muda, paylater terasa seperti penyelamat. Saat dompet sedang tipis tapi keinginan belanja datang tiba-tiba, paylater jadi solusi instan.
Saya pernah melihat sendiri teman yang begitu senangnya saat bisa membeli smartphone baru lewat fitur paylater. Ia bilang, tidak perlu lagi menunggu gaji atau tabungan terkumpul. Cukup dengan cicilan ringan tiap bulan, barang bisa langsung digunakan. Ia pun jadi makin sering menggunakan paylater, tidak hanya untuk barang penting, tapi juga untuk hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan mendesak seperti baju, skincare, atau bahkan tiket konser. Awalnya memang terasa menyenangkan, tapi lama-kelamaan ia mulai kewalahan saat tagihan menumpuk dari beberapa aplikasi.
Fenomena ini bukan hal baru. Banyak orang merasa nyaman dengan paylater karena prosesnya cepat dan tidak memerlukan proses panjang seperti pinjaman bank. Namun dibalik kenyamanan itu, tersembunyi risiko yang bisa merugikan jika tidak disikapi dengan bijak. Salah satu dampak paling umum adalah munculnya kebiasaan belanja implusif. Karena merasa bisa menunda pembayaran, seseorang jadi lebih mudah tergoda untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Rasa “Nanti juga dibayar” membuat batas antara kebutuhan dan keinginan jadi sulit dibedakan.
Masalah lain yang muncul adalah tumpukan tagihan. Ketika seseorang punya lebih dari satu akun paylater di berbagai platform, dan semuanya digunakan secara bersamaan, maka ia berisiko mengalami beban finansial yang berat. Jika terlambat membayar, bunga dan denda akan menumpuk. Tidak sedikit juga yang akhirnya harus berhutang lagi hanya untuk menutupi cicilan yang sebelumnya. Kondisi ini bisa menimbulkan stres, kecemasan, bahkan konflik dalam keluarga.
Meskipun begitu, penggunaan paylater tidak selalu buruk. Jika digunakan secara bijak, sebenarnya layanan ini bisa membantu banyak orang, terutama untuk kebutuhan mendesak. Misalnya, membutuhkan laptop untuk kuliah atau memperbaiki motor untuk bekerja, dan belum ada dana cukup, paylater bisa jadi solusi sementara. Bahkan ada yang merasa lebih mudah mengatur pengeluaran karena jumlah cicilan sudah terjadwal. Dalam konteks ini, paylater justru bisa menjadi alat bantu keuangan yang berguna.
Namun, syaratnya adalah kita harus mempu mengendalikan diri. Kita perlu tahu kapan harus menggunakan paylater dan kapan sebaiknya menahan diri. Jangan sampai kita membiasakan hidup dengan utang hanya demi memenuhi gaya hidup konsumtif. Generasi Z dikenal sebagai generasi yang cepat, adaptif, dan akrab dengan teknologi. Tapi jangan sampai kedekatan kita dengan teknologi melah membuat kita terjebak dalam pola konsumsi yang tidak sehat.
Sebagai mahasiswa akuntansi, saya menyadari pentingnya mengelola keuangan pribadi sejak dini. Kita belajar tentang perencanaan keungan, utang, bunga, dan manajemen risiko. Ilmu itu seharusnya juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita memahami bagaimana sistem paylater bekerja, termasuk bunga dan risiko gagal bayar, maka kita bisa lebih bijak mengambil keputusan sebelum menggunakan layanan tersebut.
Paylater memang menggoda, tapi jangan sampai kita jadi tergoda untuk membeli sesuatu yang tidak kita butuhkan. Lebih baik menabung dan membeli sesuai kemampuan daripada pusing sendiri di akhir bulan. Hidup nyaman itu penting, tapi jangan sampai kenyamanan sesaat malah membuat masa depan keuangan kita terganggu. Sebelum klik “Bayar Nanti”, pikirkan baik-baik: apakah ini kebutuhan, atau hanya keinginan sesaat?
Penulis:
Rahma Oktaviani
Sela Salamatul Hoeriyah