REFORMASI Reformasi 1998 merupakan salah satu momen paling menentukan dalam sejarah modern Indonesia. Di tengah krisis ekonomi, ketidakadilan sosial, dan tekanan rezim otoriter Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun, suara perubahan akhirnya menggema dari kelompok yang sering dianggap sebagai agen perubahan: generasi muda.
Namun, Reformasi bukan hanya soal runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto. Ia adalah titik balik dari lahirnya kesadaran baru dalam masyarakat bahwa perubahan adalah sesuatu yang mungkin dicapai melalui perjuangan kolektif. Dan dalam perjuangan tersebut, mahasiswa dan kaum muda berada di garda terdepan.
Akar Ketidakpuasan dan Latar Belakang Reformasi
Memasuki akhir dekade 1990-an, Indonesia berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Krisis moneter Asia pada 1997 menghantam keras perekonomian nasional. Nilai rupiah anjlok drastis, inflasi meroket, harga kebutuhan pokok melambung, dan pengangguran meningkat tajam. Di sisi lain, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto justru semakin tertutup terhadap kritik dan transparansi.
Sementara itu, praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) semakin merajalela. Ketimpangan ekonomi dan sosial menjadi makin nyata. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat yang terdidik tidak tinggal diam melihat ketidakadilan ini. Mereka mulai menyuarakan perubahan, menuntut reformasi total, bukan sekadar reformasi kosmetik.
Demonstrasi Mahasiswa: Titik Kritis Menuju Perubahan
Awal 1998, gelombang demonstrasi mulai muncul di berbagai kampus, mulai dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya hingga Makassar. Para mahasiswa turun ke jalan, melakukan long march, diskusi publik, dan aksi damai, membawa tuntutan utama: turunkan Soeharto dan adakan reformasi total.
Salah satu peristiwa paling dikenang adalah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, saat empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak aparat ketika menyampaikan aspirasinya secara damai. Kejadian ini memicu gelombang kemarahan nasional. Tak hanya mahasiswa, masyarakat sipil pun ikut menyuarakan protes.
Dalam hitungan hari, ribuan demonstran memenuhi gedung DPR/MPR. Tekanan besar ini akhirnya memaksa Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Inilah puncak dari gelombang Reformasi, dan awal dari era baru bagi demokrasi Indonesia.
Peran Strategis Generasi Muda
Peran generasi muda dalam Reformasi tidak sebatas sebagai demonstran. Mereka juga berperan sebagai pemikir, organisator, dan penjaga moralitas gerakan. Diskusi-diskusi kritis di kampus melahirkan gagasan-gagasan baru tentang demokrasi, HAM, dan sistem politik yang lebih adil.
Dalam setiap aksi, para mahasiswa tidak hanya menyuarakan tuntutan politis, tetapi juga membawa narasi perubahan sosial, seperti keadilan gender, hak-hak buruh, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Perjuangan mereka menunjukkan bahwa gerakan anak muda bukan gerakan kosong tanpa arah, melainkan gerakan yang dibangun atas kesadaran dan prinsip.
Dampak dan Warisan Reformasi
Setelah jatuhnya Orde Baru, Indonesia memasuki era baru yang disebut sebagai Era Reformasi. Beberapa pencapaian penting dari Reformasi antara lain:
– Pemilu demokratis dan langsung untuk memilih presiden, anggota DPR, dan kepala daerah.
– Lahirnya lembaga independen seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), KPU, dan Komnas HAM.
– Kebebasan pers yang jauh lebih terbuka dibanding masa sebelumnya.
– Desentralisasi dan otonomi daerah yang memberi ruang lebih luas bagi pengelolaan lokal.
Namun, tidak sedikit pula tantangan yang masih tersisa. Korupsi masih merajalela, demokrasi kadang dikaburkan oleh kepentingan elite politik, dan ketimpangan sosial belum sepenuhnya terselesaikan.
Refleksi Bagi Generasi Muda Masa Kini
Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak Reformasi 1998. Generasi muda hari ini hidup di zaman yang berbeda, namun tantangan mereka tetap nyata. Politisasi agama, disinformasi, hoaks di media sosial, hingga pengikisan integritas publik menjadi masalah baru yang harus dihadapi.
Namun, semangat Reformasi tetap relevan. Generasi muda kini memiliki lebih banyak alat—media sosial, teknologi, dan kebebasan berekspresi. Yang dibutuhkan adalah keberanian, konsistensi, dan kecerdasan untuk tetap kritis dan tidak apatis.
Tugas kita hari ini bukan sekadar mengenang Reformasi sebagai sejarah, tetapi menjadikannya pijakan untuk bergerak maju. Bila dulu para mahasiswa bergerak melawan rezim otoriter, maka kini saatnya generasi muda melawan ketidakpedulian, pragmatisme politik, dan berbagai bentuk ketidakadilan yang mengancam demokrasi.
Kesimpulan
Reformasi 1998 adalah bukti bahwa suara generasi muda tidak bisa diabaikan. Mereka adalah kekuatan moral sekaligus penggerak sosial yang mampu mengguncang sistem ketika keadilan tidak lagi tegak. Dalam setiap lembar sejarah bangsa, pemuda selalu hadir sebagai motor perubahan. Tugas generasi muda kini adalah menjaga nyala semangat Reformasi itu, menjadikannya warisan hidup yang terus menyala demi masa depan Indonesia yang lebih adil, demokratis, dan bermartabat.
Penulis:
Yuli Yanah
Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Pamulang