Oleh:
Tulus Abadi
Sekjend Komnas Pengendalian Tembakau, Ketua FKBI (Forum Konsumen Berdaya Indonesia)
DI seluruh dunia, setiap 31 Mei diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau se-Dunia, atau World No Tobacco Day (WNTD). WNTD awalnya dimotori oleh Badan kesehatan Dunia (WHO), tapi kini sudah menjadi alert bagi negara di seluruh dunia. Apalagi lebih dari 90 persen negara di dunia kini telah meratifikasi/mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), kecuali Indonesia. Tema peringatan WNTD 2025 adalah Unmusking Tobacco Industry, alias, Buka Topeng Industri Rokok.
Pada konteks kekinian di Indonesia, peringatan Hari Tanpa Tembakau se-Dunia tersebut, menjadi warning adanya sebuah fenomena kebencanaan yang dibuat oleh manusia, atau human made disaster. Tragisnya, fenomena human made disaster ini belum menjadi concern serius, apalagi alert, bagi pemerintah, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa ini; yakni human made disaster oleh tingginya prevalensi konsumsi rokok. Dimensi kebencanaan oleh tingginya prevalensi konsumsi rokok di Indonesia sangat kompleks, multidimensi. Berikut ini data dan fakta empiriknya.
Darurat paradigma. Kedaruratan paradigmatis, ini titik yang paling kritis, dan paradoks; sebab secara paradigmatis tembakau (rokok) diposisikan sebagai barang normal. Merokok pun dianggap perilaku normal, lazim, sekalipun oleh anak-anak. Padahal rokok jelas bukan produk normal, sekalipun legal. Tersebab rokok adalah produk terkena cukai dan sifatnya adiktif (menimbulkan kecanduan bagi pemakainya). Tragisnya, sekalipun rokok barang terkena cukai dan adiktif, tetapi sungguh paradoks manakala rokok justru dijual bebas, (nyaris) tak ada pengendalian. Rokok dijual di warung, toko, bercampur kebutuhan pokok (bahan pangan), bahkan obat-obatan. Anak anak kecil pun bisa mengaksesnya dengan sangat gampang.
Darurat sosiologis. Berkelindan dengan normalisasi rokok, dampaknya perilaku konsumsi rokok di Indonesia terlihat “ugal-ugalan”. Terbukti, jumlah perokok di Indonesia secara populasi mencapai 32 persen, atau sekitar 73 juta orang. Jumlah perokok anak makin miris, prevelansinya mencapai 7,4 persen (SKI 2023). Perokok elektronik, selama 10 tahun terakhir meningkat 10 kali lipat, atau sekitar 6,9 juta pengguna rokok elektonik. Remaja Indonesia makin gandrung dengan rokok elektronik. Indonesia adalah negara dengan prevalensi perokok laki-laki dewasa tertinggi di dunia, sekitar 76 persen pria dewasa merokok (World Population Review, 2022). Dua dari tiga laki laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Alamak
Darurat ekonomi. Tingginya prevalensi merokok mengakibatkan prevalensi kemiskinan di Indonesia, yakni 8,57 persen atau sekitar 24,7 juta (versi BPS, 2024). Sementara jika mengacu parameter kemiskinan ala World Bank, maka 60 persen lebih masyarakat Indonesia adalah miskin, tersebab pengeluarannya kurang dari Rp 115.000 per hari (setara dengan 6,8 dolar AS). Perilaku konsumsi rokok tidak bisa dipisahkan dengan kemiskinan tersebab alokasi anggaran untuk beli rokok di rumah tangga miskin (perkotaan dan perdesaan) rerata mencapai 10-11 persen, dari total pengeluarannya. Bahkan anggaran untuk beli rokok jauh lebih tinggi dari pembelian lauk-pauk, yang hanya 3,5 persenan saja. Pantas jika prevalensi stunting di Indonesia juga masih sangat tinggi, yakni 19,8 persen (2024), masih di atas standar WHO. Bahkan menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia, yang semula 55 jutaan (2019) turun menjadi 47 juta (2023), tak terlepas dari pengeluaran untuk belanja rokok yang sangat tinggi. Pola konsumsi rokok menjadi beban ekonomi bagi kelas menengah di Indonesia.
Suatu kajian juga mengindikasikan dengan kuat, bahwa biaya ekonomi merokok mencapai Rp 410,75 triliun atau sekitar 2,59 persen dari PDB. Berkelindan dengan hal ini, beban ekonomi akibat konsumsi rokok jauh melebihi kontribusi cukai rokok; kerugian ekonomi akibat rokok mencapai Rp 596 triliun per tahun (Litbangkes, 2015), 3 kali lipat dibanding pendapatan cukai di tahun yang sama, bahkan masih jauh di atas penerimaan cukai 2023 yang hanya Rp 213,48 triliun (Kemenkeu). Tercatat pendapatan cukai rokok pada 2024 sebesar Rp 226,4 triliun, maka sejatinya kerugian sosial ekonominya mencapai kisaran Rp 679,2 triliun. Ini formulasi yang moderat, rerata dunia kerugian sosial ekonomi akibat konsumsi rokok mencapai 5 kali lipat dibanding cukai yang diperolehnya.
Kedaruratan kesehatan. Merujuk pada data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan, justru finansial dan belanja BPJS Kesehatan boncos oleh fenomena penyakit katastropik, yakni kanker, jantung koroner, stroke, dan diabetes melitus. Data membuktikan, pada 2023 BPJS Kesehatan menggelontorkan dana sebesar Rp 34,8 triliun untuk penanganan penyakit katastropik yang mencapai 29,8 juta kasus. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibanding data pada 2022, yang berjumlah Rp 24 triliun. Penyakit jantung masih menjadi urutan pertama penyakit katastropik, disusul kanker, stroke dan gagal ginjal. Tingginya prevelansi penyakit tidak menular tersebut, adalah perilaku dan gaya hidup tidak sehat. Kendati merokok bukan menjadi penyebab tunggal, tapi jelas merokok punya kontribusi paling signifikan, setelah makanan tinggi lemak dan garam, plus minuman tinggi gula (MBDK).
Darurat lingkungan. Dampak eksternal negatif rokok juga terjadi pada sektor lingkungan, baik dari sisi hulu, hingga hilir. Dari sisi hilir yang sangat dominan dampaknya bagi lingkungan adalah puntung rokok dan kemasan yang dihasilkan. Bahaya puntung rokok bukan “omon-omon”, bahkan bisa dikategorikan sebagai sampah yang mengandung limbah B3, relevan dengan PP No. 22/2021 tentang Penyelenggaran Lingkungan Hidup. Zat berbahaya tersebut, yang terkandung pada puntung rokok antara lain: nikotin, benzena, butana, butanol formaldegide, kadmium, metanol dan fenol. Tetapi ironisnya, kendati secara gamblang puntung rokok mengandung zat zat berbahaya dan termasuk kategori limbah B3, tetapi di lapangan masih diberlakukan sebagai sampah biasa. Dan tak ada tanggung jawab sedikit pun dari produsen rokok, untuk menarik dan mengumpulkan sampah puntung rokoknya itu, sebab sebagai limbah B3, seharusnya puntung rokok tidak boleh dibuang secara sembarangan, sebab sangat membahayakan bagi lingkungan, baik manusia, hewan, ikan, dan tanaman. Ocean Conservacy mendata bahwa ada sekitar 1,1 juta unit sampah puntung rokok di pesisir global pada 2021. Puntung rokok merupakan salah satu dari 10 jenis sampah plastik yang banyak ditemui di pesisir Indonesia. Makin mengkhawatirkan lagi adalah sampah dari rokok elektronik, seperti vape, dan sejenisnya.
Darurat hukum. Klimaks atas konfiguransi persoalan konsumsi tembakau yang begitu complicated itu, adalah aspek regulasi pengendalian tembakau sangat lemah, dan sengaja dilemahkan. Hingga kini Indonesia menjadi yang terkucil di level dunia, tersebab tidak meratifikasi/meangkasesi FCFC (Framework Convention on Tobacco Control), yang saat ini lebih dari 90 persen negara di dunia telah meratifiasi/mengaksesinya. Di level regulasi nasional kita punya PP 28/2024 tentang Kesehatan, yang lumayan progresif mengatur pengendalian konsumsi tembakau, tetapi tragisnya PP 28/2024 malah dimangkrakkan. Padahal PP 28/2024 sudah diberlakukan sejak disahkan. Intervensi industri rokok untuk melemahkan upaya implementasi PP 28/2024 ditengarai sangat kuat.
Merujuk pada konfigurasi permasalahan tersebut, menjadi sangat musykil (sulit) bahkan mustahil jika pemerintah masih ingin mengapai target bonus demografi pada 2030 dan bahkan generasi emas pada 2045. Program MBG, yang digadang-gadang akan mendorong terwujudnya bonus demografi dan generasi emas, masih jauh panggang dari api. MBG pun tak akan mampu menurunkan prevalensi kemiskinan hingga 6 persen. Bagaimana mau menurunkan kemiskinan dan stanting, jika masyarakat miskinnya masih tersandera oleh tingginya konsumsi rokok. Mereka lebih memilih rokok. Alih alih malah fenomena prevalensi penyakit tidak menular seperti jantung koroner, stroke dll; justru akan makin mewabah.
Oleh karena itu harus ada langkah radikal untuk memitigasi agar bencana yang berkarakter human made disaster ini, yang dipicu oleh tingginya prevalensi konsumsi rokok, tidak semakin eskalatif. Dari sisi fiskal, menaikkan cukai rokok secara signifikan dan mereformasi sistem cukainya; menjadi kebijakan yang amat mendesak. Kenaikan cukai sering tidak berdampak pada sisi pengendalian, tersebab sistem cukai saat ini terlalu rumit, sehingga sangat menguntungkan industri rokok, dengan membuat rokok murah yang memicu fenomena down trading. Marak pula fenomena rokok ilegal, yakni rokok tanpa cukai atau pun rokok bercukai tapi palsu. Pemerintah, termasuk Pemda, seharusnya konsisten untuk melakukan penegakan hukum rokok ilegal sebagaimana mandat Permenkeu No. 72/2024 tentang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), yang mengalokasikan dana untuk penegakan hukum sebesar 10 persen. Sedangkan porsi lebih besar digunakan untuk kesejahteraan masyarakat (50 persen), pelayanan kesehatan (40 persen), yakni untuk penurunan prevalensi merokok melalui kampanye kawasan tanpa rokok, dan program berhenti merokok.
Regulasi untuk menyelamatkan Indonesia dari bencana rokok sejatinya sudah ada, yakni PP 28/2024 tentang Kesehatan, walau PP 28/2024 secara substansial masih jauh dari standar FCTC. Mangkraknya implementasi PP 28/2024 tak terlepas oleh kuatnya intervensi industri rokok pada kementerian, presiden, bahkan DPR. Indeks intervensi industri rokok di Indonesia menduduki skor paling tinggi di Asia, bahkan di dunia, dengan skor 84 (survei SEATCA, 2023). PP 28/2024 adalah instrumen hukum untuk mendenormalisasi rokok dan perilaku merokok. Dan menjadi daya dorong menurunkan prevalensi stunting, kemiskinan akut, untuk mencapai derajat bonus demografi pada 2030, dan generasi emas pada 2045. Selamatkan bangsa Indonesia dari fenomena human made disaster yakni “drakula” konsumsi tembakau!