TANGSELXPRESS – Wacana penempatan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak, termasuk pakar hukum tata negara dan lembaga pengamat kebijakan publik.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Semarang, M. Junaidi menyebut gagasan ini salah kaprah karena berpotensi menciptakan overlapping kewenangan.
Menurut Junaidi, Kemendagri berfokus pada pemerintahan daerah, sementara Polri memiliki mandat utama untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
“Menurut saya sudah salah kaprah, ini akan terjadi overlapping, karena kalau ditarik ke Kemendagri, kontrol dari presiden malah tidak akan maksimal, di sisi lain Kemendagri urusannya kan yang berkaitan dengan pemerintah pusat dan daerah, sementara Polri itu Kamtibmas,” ujar Junaidi seperti dikutip dari beritasatu.com, Minggu (1/12/2024).
Penempatan Polri di bawah Kemendagri dapat melemahkan kontrol langsung presiden dalam sistem presidensial, di mana presiden adalah panglima tertinggi dalam pertahanan dan keamanan.
“Kita lihat memang kedudukan Polri di bawah naungan presiden karena kita memaknai sistem presidensil sebagai suatu bentuk dari pada sistem yang berlaku di Indonesia dalam konteks hukum tata negara. Presiden itu punya kekuasaan tertinggi dalam konteks pertahanan, keamanan. Maka, presiden disebut panglima tertinggi,” jelasnya.
Junaidi menegaskan bahwa Polri seharusnya tetap berada langsung di bawah presiden, sejajar dengan lembaga seperti kejaksaan dan KPK.
“Sementara fungsi Polri sebagai penegak hukum, maka kedudukan Polri juga sama dengan kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang harus dibawah naungan presiden langsung,” terangnya.
Sebagai alternatif, Junaidi mengusulkan perubahan struktur Polri dengan mengganti posisi tunggal Kapolri menjadi sistem komisioner. Keputusan yang dibuat secara kolektif-kolegial dianggap dapat meningkatkan akuntabilitas dan independensi Polri dalam menjalankan tugasnya.
“Polri bisa diubah bukan dipimpin oleh seorang kapolri. Tetapi pimpinannya adalah komisioner. Komisioner itu ketika membuat keputusan itu secara kolektif dan kolegial. Artinya bersama-sama. Nah, konsep bersama-sama ini akan memperkuat pertimbangan putusan yang dibuat oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum yang kemudian dilaksanakan di NKRI,” katanya.
Sementara itu Koordinator Lembaga Kebijakan Publik dan Hukum (Omah Publik) Nanang Setyono menilai wacana penempatan Polri di bawah Kemendagri bersifat politis sesaat, muncul sebagai respons terhadap dinamika Pilpres dan Pilkada 2024.
Narasi bahwa Polri dijuluki “partai coklat” mencerminkan persepsi negatif yang perlu dijawab melalui reformasi internal, bukan perubahan struktur yang drastis.
“Ini politis sesaat saja, dinamika dari Pilpres dan Pilkada. Mereka yang berteriak ini kan karena kalah dalam Pilpres dan Pilkada, terus melontarkan isu tuduhan katanya Polri yang disebut partai coklat bergerak masif menggalang dukungan untuk calon tertentu tang ditunjuk penguasa,” imbuh Nanang.
Jika ada wacana serupa di masa depan, penting untuk dilakukan kajian mendalam dengan melibatkan pakar dan masyarakat guna menghindari langkah yang kontraproduktif terhadap tata kelola negara.