TANGSELXPRESS – Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengkritik penerapan Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan oleh mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim, dengan menyebutnya kurang bijak secara politis.
Ia menjelaskan bahwa Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024, yang mengatur tentang kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan pendidikan dasar dan menengah, tidak secara khusus menyebut Kurikulum Merdeka.
“Jadi Kurikulum Merdeka yang sekarang ini sebetulnya ilegal, karena ilegal maka bila pemerintahan yang baru Menteri Abdul Mu’ti itu kembali ke Kurikulum 2013 tidak ada masalah,” tegas Darmaningtyas seperti dikutip dari beritasatu.com, Selasa (12/11/2024).
Menurut Darmaningtyas, sebutan Kurikulum Merdeka bisa dianggap “ilegal” karena tidak memiliki dasar hukum yang tegas dalam regulasi. Sehingga, jika Menteri Pendidikan saat ini, Abdul Mu’ti, ingin kembali ke Kurikulum 2013, hal itu tidak akan menjadi masalah. Ia mengungkapkan bahwa Kurikulum Merdeka adalah bentuk penyederhanaan dari Kurikulum 2013, dan tidak seharusnya memiliki penamaan “bermerek.”
Nama Kurikulum Merdeka dapat mengesankan asosiasi dengan Nadiem Makarim sebagai pencetusnya, yang menurutnya kurang tepat dalam konteks kebijakan pendidikan yang seharusnya bersifat netral.
“Kurikulum Merdeka itu kan baru mulai diterapkan tahun ini artinya baru tahap percobaan dan kalau penuturan dari pejabat dahulu mengatakan kurikulum ini merupakan penyederhanaan dari Kurikulum 2013. Kalau itu memang betul penyederhanaan Kurikulum 2013 maka sebetulnya nomenklaturnya tidak harus menggunakan Kurikulum Merdeka,” terang Darmaningtyas.
“Karena memang kurikulum itu tidak boleh bermerek itu yang saya bilang atau kebijakan-kebijakan pendidikan lainnya itu tidak boleh bermerek, sebab kalau bermerek, Kurikulum Merdeka itukan pasti akan mengasosiasikan kepada salah satu tokoh, dalam hal ini adalah Menteri Nadiem Makarim,” sambungnya.
Darmaningtyas menyarankan agar kurikulum yang digunakan cukup disebut sebagai “kurikulum nasional” tanpa label tambahan. Hal ini untuk menghindari asosiasi politik terhadap tokoh tertentu. Ia menegaskan bahwa substansi dari Kurikulum Merdeka tetap dapat dilanjutkan tanpa mencantumkan nama khusus.
“Bagaimana dengan sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum Merdeka? Biarkan saja tetap. Namun, namanya saja tidak perlu dilabeli merdeka. Jadi substansinya tetap karena itu juga penyederhanaan dari Kurikulum 2013 tetapi labelnya ya kurikulum nasional jadi tidak pakai Kurikulum Merdeka atau Kurikulum 2013,” tambahnya.
Dengan saran ini, Darmaningtyas berharap penamaan kurikulum dapat tetap netral dan tidak dikaitkan dengan kebijakan individu tertentu.