TANGSELXPRESS – Rusuh yang terjadi di Pantai Indah Kosambi (PIK) Tangerang membuat prihatin banyak pihak. Selain mengakibatkan kerugian material yang cukup banyak, rusuh itu juga menyebabkan korban luka baik di pihak warga maupun aparat Kepolisian.
Peneliti kebijakan publik IDP-LP Riko Noviantoro menilai, ada empat faktor yang menjadi akar masalah kekisruhan yang terjadi di PIK 2.
Keempat faktor itu, yang pertama adalah penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang otoritatif presiden. “Padahal PSN program yang juga didanai negara. Sepatunya penetapan PSN melibatkan DPR,” kata Riko Noviantoro.
Yang kedua adalah PSN yang dituangkan melalui Keppres juga menjadi tidak relevan. Menurut Riko, sepatutnya PSN dituangkan pula dalam UU RPJPN. Harapannya, agar PSN memiliki dasar regulasi yang berkelanjutan.
Kemudian yang ketiga adalah, secara makro sudah mendesak UU Kepresidenan sebagai bagian dari membatasi kewenangan Presiden yang berlebihan.
“Yang keempat, saya kira kebijakan PSN yang otoritatif pada presiden memiliki celah rent seeking dan transaksional Presiden dengan sekelompok pengusaha. Atas dasar itu, sepatutnya DPR mengkoreksi semua kebijakan PSN,” tandas Riko.
Riko yang juga pernah menjadi jurnalias Jawa Pos grup itu mengingatkan, kasus serupa juga terjadi di Rempang beberapa waktu lalu. “Empat faktor itu semua bekerja pada PSN yang perlu segera diluruskan,” katanya.
Terkait kasus yang terjadi, Riko menilai sampai saat ini blm ada argumentasi memadai dan kajian teknokratis yang diberikan Presiden. “Seingat saya ada 143 PSN sejak era SBY,” kata dia.
Menurutnya, tidak elok memisahkan PIK dan BSD yang masuk dalam PSN dengan proyek PSN lainnya karena PSN ada dalam satu kebijakan Presiden.
Kendati begitu, kata Riko, ada titik krusial pada kasus PIK yang nanti bisa saja merembet pada BSD suatu hari nanti.
“Lalu, apa urgensi Presiden pilih PIK sebagai program PSN? Padahal PSN disiapkan sebagai kebijakan yang mendorong ekonomi rakyat dan pemerataan pembangunan. Maka ada pertanyaan lanjutan, apakah PIK punya perna bagi ekonomi rakyat dan pemerataan pembangunan?,” tanya Riko.
“Jawabnya pasti TIDAK. Sejak awal PIK itu proyek private. Milik Agung Sedayu sabagai bisnis properti. Jadi tidak ada alasan kuat menajadikan proyek private sebagai Proyek Nasional,” tambah dia.
Riko melihat, sampai hari ini tidak ada argumentasi ilmiah perubahan proyek private jadi proyek nasional. Tidak tepat ada politik keberpihakan pada PIK 2.
“Tidak ada alasan an sich konglomerat itu dibela negara. Jika memang diperlukan kebersihan negara bisa pada relaksasi pajak dll. Bukan pembangunan PIK sekehendak pengembang,” kata dia.
Riko juga mendesak, jika PIK dipaksa harus PSN, maka berikan landscape tata ruang yang memiliki keberpihakan pada kepentingan rakyat. “Apakah ada kawasan bagi UMKM dll? Sejauh ini saya melihat bahwa jawabannya adalah tidak,” katanya.
Menurutnya, yang terjadi adalah sejak awal PIK disiapkan bagi komunitas superkaya. Jika begitu, kata dia, untuk apa negara bantu kelompok superkaya, padahal tidak ada rasionalitas yang memadai terhadap PIK jadi PSN.
“Jika belajar pd Proyek Pondok Indah tahun 80 an, bisa dilihat bagaimana Presiden Soeharto menjaga keseimbangan alam dominasi Ciputra dengan rakyat. Selain itu pula sebagian tanah Pondok Indah saat itu adalah perkebunan. Artinya ada perna negara jaga kepentingan rakyat terhadap tanahnya,” jelasnya.
“Beda dengan kasus PIK yang mayoritas adalah tenah hunian warga. Dipaksa harus pindah. Ada penggusuran dll. Sudah wktnya DPR panggil kementerian terkait. Untuk melindungi kepemilikan rakyat,” katanya.