TANGSELXPRESS – Pemerintah sepakat akan mengubah sistem kelas 1, 2, dan 3 pada layanan BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Dengan adanya kebijakan terbaru ini secara otomatis akan merubah besaran iuran yang harus dibayarkan oleh peserta.
Kebijakan KRIS akan diberlakukan pada 30 Juni 2025 mendatang. Adapun perubahan sistem kelas BPJS Kesehatan ini telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan, skema tarif iuran tunggal kemungkinan akan diterapkan, meskipun saat ini masih dalam tahap kajian.
“Itu memang iuran single-nya masih dikaji, karena masih ada waktu,” ujar Budi saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip dari http://beritasatu.com Senin (23/9/2024).
Budi menjelaskan, kajian ini juga mencakup peserta BPJS Kesehatan di kelas 2 dan 3, namun ia belum bisa mengungkapkan dampak penerapan iuran tunggal tersebut terhadap para peserta di kelas tersebut. “Sedang dikaji,” ucapnya.
Sebelum sistem KRIS diterapkan sepenuhnya, iuran BPJS Kesehatan masih mengacu pada Perpres 63/2022, yang menggunakan sistem kelas 1, 2, dan 3.
Dalam aturan tersebut, iuran peserta terbagi berdasarkan beberapa kelompok, termasuk Penerima Bantuan Iuran (PBI), Pekerja Penerima Upah (PPU), dan peserta bukan pekerja.
Adapun besaran iuran berdasarkan Perpres 63/2022 adalah sebagai berikut:
- Peserta PBI: iuran dibayarkan sepenuhnya oleh pemerintah.
- Peserta PPU (PNS, TNI, Polri, pejabat negara): iuran sebesar 5% dari gaji, di mana 4% dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% oleh peserta.
- Peserta PPU (BUMN, BUMD, swasta): skema yang sama seperti PPU pemerintahan.
- Keluarga tambahan PPU: iuran sebesar 1% dari gaji per orang per bulan.
- Peserta mandiri (PBPU): iuran berkisar dari Rp 42.000 hingga Rp 150.000 per bulan, tergantung kelas layanan.
- Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan ahli waris: iuran sebesar 5% dari 45% gaji pokok PNS golongan III/a dengan masa kerja 14 tahun, dibayarkan oleh pemerintah.
Pembayaran iuran BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 setiap bulan, dan denda keterlambatan hanya dikenakan jika peserta memperoleh layanan rawat inap dalam 45 hari setelah status kepesertaan aktif kembali.
Besaran denda sesuai Perpres 64/2020, maksimal mencapai Rp30 juta dengan jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan.
Rencana perubahan sistem ini diharapkan dapat memperbaiki pelayanan kesehatan dan menciptakan kesetaraan dalam layanan BPJS Kesehatan, meski pemerintah masih mengkaji dampaknya terhadap peserta.