TANGSELXPRESS – Mahkamah Konstitusi (MK) memang memiliki wewenang untuk menilai dan mengubah aturan-aturan yang dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945. Dalam kasus ini, MK memutuskan bahwa aturan ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 adalah inkonstitusional bersyarat.
Pasal tersebut menetapkan ambang batas pencalonan kepala daerah dengan ketentuan bahwa calon dari partai politik atau gabungan partai politik harus memenuhi ambang batas minimal 25 persen perolehan suara atau 20 persen kursi DPRD untuk dapat mencalonkan diri. Keputusan MK yang menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat berarti MK menganggap bahwa aturan tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan konstitusi, namun tetap berlaku dengan syarat-syarat tertentu atau memerlukan perubahan untuk memenuhi prinsip-prinsip konstitusi. Adapun aturan itu dimohonkan Partai Buruh dan Gelora.
Perubahan atau penyesuaian atas aturan tersebut seringkali dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pencalonan kepala daerah lebih inklusif dan tidak terlalu membatasi partai-partai politik, terutama partai-partai yang mungkin tidak memiliki kekuatan besar tetapi tetap memiliki representasi yang signifikan di tingkat lokal.
Keputusan ini juga mencerminkan dinamika dalam sistem politik dan hukum Indonesia, di mana MK berperan penting dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan politik dan prinsip-prinsip konstitusi.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo seperti dikutip dari beritasatu.com dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Selasa (20/8/2024).
MK mengubah Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016. Pasal tersebut kini berbunyi:
“Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut”
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
A. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut.
B. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih 2 juta jiwa sampai dengan 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut.
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai dengan 12 juta, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.
Dengan perubahan ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah, PDIP memang memiliki peluang lebih besar untuk mencalonkan calon gubernur sendiri di Jakarta. Sebelumnya, dengan ketentuan ambang batas 20% kursi DPRD, PDIP, yang memperoleh 14,01% suara pada Pileg DPRD DKI Jakarta 2024, akan kesulitan memenuhi syarat untuk mencalonkan diri tanpa bergabung dengan partai lain.
Dengan aturan terbaru yang memungkinkan PDIP mencalonkan calon gubernur dengan suara sah minimal 7,5%, PDIP kini memiliki fleksibilitas lebih dalam menentukan calon. Jika PDIP tetap mendorong Anies Baswedan sebagai calon gubernur dan mencalonkan Hendrar Prihadi sebagai wakilnya, ini bisa menjadi strategi politik yang menarik, mengingat Anies Baswedan memiliki popularitas yang signifikan di Jakarta dan Hendrar Prihadi dikenal sebagai mantan Wali Kota Semarang.
Namun, untuk mencapai sukses dalam Pilgub Jakarta, PDIP akan perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti popularitas pasangan calon, strategi kampanye, serta dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Selain itu, dinamika politik di Jakarta yang sangat kompetitif juga akan mempengaruhi hasil akhir pemilihan.