TANGSELXPRESS – Mungkin, tak akan ada yang bisa menggantikan Sofie di hati saya. Yah, meski beda alam, aku begitu mencintai Sofie, gadis Belanda yang 14 tahun menemaniku di Kota K, sebuah kota indah di Jawa Tengah sana.
Saat itu, sekitar tahun 1982 aku menerima tugas ke Kota K. Di kota itu, aku mendapatkan tugas untuk “babat alas” mengembangkan bisnis kantorku. “Intinya, kamu harus bisa mengembangkan bisnis perusahaan kita di kota itu,” pesan pak Jufrie, bosku ketika itu.
Banyak fasilitas yang aku dapatkan selama di Kota K. Sebagai kepala cabang di usia yang masih sangat muda, aku mendapatkan rumah dinas dan mobil operasional.
Pertama aku tiba di Kota K, aku sempat kaget saat tahu rumah dinasku adalah rumah tua peninggalan Belanda. Meski telah berusia tua, rumah itu sangat terawat. Semua sudutnya selalu bersih meski banyak ornamen kayu dan ukiran jati.
Di rumah itu, aku hanya bertiga dengan Mbok Yah dan Pak Darmo. Mbok Yah tugasnya memasak dan cuci baju plus setrika, sementara Pak Darmo tugasnya adalah bersih-bersih dan merawat kebun dan taman.
Sedangkan Mas Harun, sopir kami memilih pulang setelah selesai menjalankan tugasnya.
Aku masih ingat, di hari pertama di rumah itu, aku kesulitan tidur. Entah mengapa, berulang kali memejamkan mata, aku selalu gagal untuk tidur.
Sial, baru saja tidur, aku dibangunkan nyanyian wanita yang sayup-sayup terdengar dari balik jendela kamar yang menghadap ke kebun.
Namun, saat itu aku tak begitu mengerti dengan syair lagu yang dinyanyikan wanita tersebut. Bahasa yang dia lantunkan, bukanlah bahasa Inggris atau Indonesia, namun bahasa Belanda.
Herannya, saat itu aku tak sedikitpun merasa takut. Yang ada, aku justru menikmati lagu yang dinyanyikan wanita itu. Suaranya lirih, tapi terdengar lembut dan menghanyutkan.
“Siapakah gerangan yang menyanyi,” batinku malam itu. Setelah lagu selesai, aku pun tertidur lelap.
Pagi harinya, aku dibangunkan aroma kopi yang telah tersaji di meja kecil samping tempat tidurku. Di samping kopi itu, ada kue dadar gulung yang memang aku sukai. “Mbok Yah rajin bener, jam segini sudah membuatkanku kopi dan dadar gulung,” batinku sambil melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 05.00 WIB.
Hari itu tak ada hal aneh yang aku temui. Semua berjalan apa adanya. Dari rumah, ke kantor bertemu teman baru, dan kemudian kembali pulang.
Namun, di malam kedua aku kembali mendengar suara wanita menyanyi di luar jendela. Demikian di hari hari berikutnya, wanita itu selalu menyanyi di tengah malam.
Hingga pada hari Sabtu malam minggu, wanita itu tak lagi menyanyi. Suasana malam itu sangat sepi, hanya terdengar suara jangkrik dari kebon.
“Kemana wanita itu pergi,” batinku dengan oenuh penasaran.
Malam itu, rupanya aku bisa tidur cepat. Mungkin aku sedikit kelelahan setelah seharian beraktifitas di kantorku.
“Mas tadi nyari saya ya?,” tanya seorang wanita berambut pirang kepadaku.
Aku terkejut saat tahu ada wanita bule berada di depan saya. Matanya biru, ramputnya pirang ikal. Dia begitu cantik dengan balutan baju biru.
“Namaku Sofie mas,” kata wanita itu kemudian menghilang.
Seperginya Sofie, aku terbangun dari tidur. Aku sadar, baru saja bermimpi bertemu dengan perempuan bernama Sofie. Sumpah, setelah peristiwa malam itu, pikiranku selalu teringat Sofie.
“Cantiknya luar biasa,” batinku.
Tak lagi menyanyi, Sofie akhirnya malah rajin mendatangiku di alam mimpi. Hampir setiap malam dia datang ke alam mimpiku.
“Dengan cara ini mas kita bisa bertemu,” kata Sofie.
Seringnya bertemu di alam mimpi, membuat kami semakin dekat. Kami benar-benar dibuat saling jatuh cinta, yah jatuh cinta yang teramat sangat aneh.
Di alam mimpi itulah, banyak hal yang kami lakukan. Termasuk di antaranya adalah melakukan hal-hal yang sangat dilarang. “Sofie senang melayani Mas Bayu,” kata Sofie suatu saat.
“Aku ingin bertemu denganmu di dunia nyata, bukan di alam mimpi,” pintaku kepada Sofie.
Esok harinya, Sofie menuruti keinginanku. Dia menampakkan wujud aslinya di depan mataku. Mengenakan baju biru ala gadis Belanda. “Ini aku mas, bagaimana menurut Mas Bayu,” kata Sofie menyadarkan kekagetanku.
“Can….cantik,” pujiku sedikit gemetar.
Malam itu, kami tak mau melewatkan sedikitpun waktu. Kami memadu kasih seperti dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. “Terima kasih Mas Bayu sudah mau menerima Sofie,” katanya.
Sama seperti manusia, Sofie ternyata juga punya rasa cemburu. Suatu hari, aku pulang bersama stafku bernama Indri. Aku sengaja pulang untuk mengambil dokumen yang aku perlukan untuk presentasi ke klien baru kami.
Saat itulah, Sofie terlihat cemburu melihat kedekatanku dengan Indri. Dia marah, dan sempat menjatuhkan beberapa barang di meja. Indri yang tidak bisa melihat Sofie, seketika ketakutan. ” Pak saya izin keluar dulu,” kata Indri sambil berlari keluar rumah.
Sekeluarnya Indri, Sofie mengatakan kepadaku bahwa dia tidak menyukai Indri. “Mas Bayu apakah menyukai wanita itu,” tanya Sofie. “Tidak, dia hanya staf di kantorku, kamu jangan berlebihan,” kataku berusaha meredam amarah Sofie.
Namun, itulah sifat Sofie. Dia tak mau terima jika aku dekat dengan wanita, meski wanita itu adalah teman atau sahabat. “Sofie tak mau kehilanganmu Mas Bayu,” kata Sofie mengutarakan alasannya.
Hingga detik ini, hubunganku dengan Sofie tak ada yang tahu. Alasan ini pulalah yang membuat aku untuk memutuskan tidak menikah. Aku begitu mencintai gadis Belandaku itu, meski dia bukanlah manusia.
Sofie….