TANGSELXPRESS – Sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil yang dikenal sebagai Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan telah mengirim somasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia karena belum memenuhi janjinya untuk merevisi peraturan yang dapat mengurangi jumlah calon anggota legislatif perempuan dalam Pemilu 2024. Koalisi tersebut menyatakan bahwa KPU semakin menjauh dari janjinya.
Informasi yang berhasil dihimpun dari beberapa sumber menjelaskan, hal ini terjadi setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diadakan oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada tanggal 17 Mei 2023 yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Komisi II DPR RI meminta KPU untuk tidak melakukan revisi apa pun, 23 Mei 2023.
Perwakilan koalisi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengungkapkan bahwa somasi tersebut telah diterima oleh Sekretariat Jenderal KPU RI pada Jumat, 19 Mei 2023.
“Dalam somasi yang kami ajukan kepada KPU, kami menuntut agar KPU memenuhi kewajiban hukum sesuai dengan sumpah jabatannya, yaitu menerapkan prinsip mandiri dengan segera menetapkan revisi terhadap Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 guna mengembalikan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujar Titi.
Koalisi ini juga mencermati sikap yang dianggap kontradiktif dari KPU. Pada tanggal 10 Mei, KPU menanggapi aspirasi koalisi dengan mengadakan konferensi pers yang menyatakan bahwa mereka akan segera mengubah ketentuan teknis terkait perhitungan keterwakilan 30 persen caleg perempuan pada Pemilu 2024, karena terbatasnya waktu yang ada.
KPU, bersama dengan Bawaslu dan DKPP, menyatakan dukungannya terhadap pemilu yang inklusif gender dan mengupayakan pemenuhan keterwakilan perempuan dalam proses tersebut.
KPU juga menyatakan bahwa proses konsultasi dengan DPR, sebagai tahapan yang harus dilalui ketika membentuk atau mengubah aturan, bukanlah sesuatu yang didominasi oleh parlemen. Namun, koalisi tidak melihat adanya perwujudan dari pernyataan-pernyataan KPU tersebut setelah RDP dengan Komisi II DPR RI pekan lalu.
“KPU tunduk pada hasil konsultasi dengan Komisi II DPR dan Pemerintah yang meminta untuk tidak merevisi Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Padahal, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU/XIV/2016, konsultasi KPU dengan DPR tidak memiliki kekuatan mengikat,” ungkap Titi.
Sebelumnya, Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari, mengkonfirmasi bahwa pihaknya belum merevisi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam pasal tersebut, KPU mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen menghasilkan angka desimal di bawah 0,5. Sebagai contoh, jika terdapat 8 caleg dalam satu daerah pemilihan, maka jumlah keterwakilan perempuan sebesar 30 persennya adalah 2,4.
Dalam hal ini, angka di belakang koma kurang dari 0,5, sehingga dilakukan pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di daerah pemilihan tersebut hanya menjadi 2 orang, dan hal ini dianggap sudah memenuhi syarat.
Namun, keterwakilan 2 dari 8 caleg hanya setara dengan 25 persen. Ini berarti belum memenuhi ambang batas minimum keterwakilan perempuan sebesar 30 persen sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hasyim Asy’ari mengklaim bahwa KPU telah berinisiatif untuk mengakomodasi kepentingan keterwakilan perempuan, meskipun ketentuan yang dipermasalahkan belum direvisi. Ia juga menyebutkan angka keterwakilan perempuan dalam pendaftaran calon anggota legislatif yang telah ditutup pada tanggal 14 Mei lalu sudah melebihi target minimum 30 persen.
“Sebanyak 18 partai yang mendaftar calon di KPU, angka keterwakilan perempuannya sudah melampaui batas minimum yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu 30 persen keterwakilan perempuan,” ungkap Hasyim Asy’ari.
Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menyoroti kejanggalan antara pernyataan KPU yang menjanjikan revisi peraturan dan tindakan nyata setelah RDP dengan Komisi II DPR RI. Mereka menekankan pentingnya menjaga dan memperkuat partisipasi politik perempuan, sesuai dengan prinsip kesetaraan gender dan demokrasi yang diakui secara internasional.
Koalisi meminta KPU untuk bertindak sesuai dengan sumpah jabatan yang diemban, menjunjung tinggi prinsip-prinsip mandiri, dan memastikan revisi Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023
segera dilakukan. Mereka menekankan bahwa keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif sangat penting untuk memastikan suara dan kepentingan perempuan diwakili dengan adil dan proporsional.
Koalisi juga mengingatkan KPU bahwa putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa konsultasi dengan DPR tidak bersifat mengikat, sehingga KPU memiliki otonomi dalam menetapkan kebijakan terkait revisi peraturan pemilu.
Mereka menegaskan bahwa peraturan yang ada saat ini tidak memadai dalam menjamin keterwakilan perempuan yang memenuhi ambang batas minimum yang telah ditetapkan.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan berharap agar KPU dapat menanggapi somasi ini dengan serius dan segera mengambil langkah-langkah konkret untuk merevisi peraturan yang terkait dengan keterwakilan perempuan dalam pemilu.
Koalisi ini juga mengajak semua pihak terkait, termasuk DPR dan pemerintah, untuk mendukung upaya memastikan partisipasi politik yang inklusif dan merata bagi semua warga negara, tanpa memandang gender.
Dalam upaya mencapai kesetaraan gender dan mewujudkan demokrasi yang inklusif, penting bagi KPU untuk memenuhi janjinya dan mengambil langkah-langkah konkret dalam merevisi peraturan yang memastikan keterwakilan perempuan yang sesuai dengan ambang batas minimum yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, pemilu dapat menjadi wahana yang adil dan setara bagi semua warga negara, tanpa memandang jenis kelamin, dan memperkuat partisipasi perempuan dalam proses politik dan pengambilan keputusan.