TANGSELXPRESS- Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kembali menjadi sorotan, khususnya bagi perempuan. Kali ini, Megawati Soekarnoputri dalam acara Kick off Kolaborasi Penurunan Stunting yang diselenggarakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan bahwa tidak wajar jika perempuan tidak bisa masak hanya karena alasan bekerja. Dalam acara tersebut, Megawati juga mengatakan bahwa dirinya tetap memasak meski saat itu menjabat wakil presiden ataupun presiden.
Peneliti bidang politik The Indonesian Institute (TII), Ahmad Hidayah, turut berkomentar terkait pernyataan Megawati tersebut.
Menurutnya, hal ini bisa dimaklumi jika melihat konteks acara yang dihadiri oleh Megawati, di mana Ia mengajak ibu-ibu untuk yang hadir dalam acara tersebut menjadi garda terdepan dalam menurunkan angka stunting di Indonesia.
Salah satunya dengan cara memasak masakan yang bergizi untuk keluarganya. Meski demikian, jika ditinjau dari perspektif politik jelang Pemilu 2024, narasi tersebut dinilai kurang tepat, bias gender, dan kurang edukatif.
“Saya pikir, hal ini kurang tepat dan baik dari kacamata komunikasi politik. Di era modern seperti saat ini, pandangan perempuan harus berada di dapur itu sudah tidak relevan lagi. Problem perempuan di dapur itu seperti memperliharkan budaya patriarki. Hal ini pula yang membuat perempuan memiliki beban ganda,” ujar Ahmad.
Ahmad menambahkan, bahwa Megawati sering kali dianggap ‘blunder’ secara komunikasi politik terkait perempuan. Sebagai contoh pada bulan Maret lalu, Megawati berkomentar terkait keheranannya terhadap ibu-ibu yang mengantri minyak goreng.
Sebulan kemudian, Megawati kembali berkomentar bahwa dirinya merasa heran melihat fenomena ibu-ibu beramai-ramai belanja baju Lebaran. Padahal, sebelum situasi tersebut terjadi, ibu-ibu rela mengantri demi mendapatkan minyak goreng, terutama dengan harga murah.
“Narasi yang disampaikan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP ini bertolak belakang dengan citra yang selama ini dibentuk oleh PDIP sebagai partai yang membuka ruang bagi perempuan. PDIP jadi satu-satunya partai di parlemen yang saat ini diketuai oleh perempuan. Selain itu, Puan Maharani, kader PDIP, merupakan calon presiden perempuan paling potensial dan memungkinkan jika dibandingkan dengan capres perempuan lainnya. Saya mengkhawatirkan, narasi-narasi politik yang tidak baik seperti ini selain bias gender dan tidak tepat, bisa membuat PDIP ditinggal oleh pemilih perempuan maupun pemilih lain yang punya kesadaran kritis tentang gender,” jelas Ahmad.
Ahmad pun mengatakan bahwa Megawati perlu untuk memberikan narasi-narasi politik yang lebih edukatif dan berperspektif gender, serta ramah terhadap perempuan, jika ingin meraih suara perempuan di Pemilu 2024 mendatang. Jangan sampai, komunikasi politik yang buruk tersebut menjadi batu sandungan bagi PDIP untuk menjadi partai pemenang pemilu tiga kali berturut-turut.