SIDOARJO – Tiga hari terjebak di bawah reruntuhan beton, Syaiful Rosi Abdillah (15) hanya bisa berzikir. Di antara gelap, debu, dan rasa sakit yang tak tertahankan, santri asal Kabupaten Sampang, Madura, itu terus membaca istigfar dan salawat, pasrah jika memang ajal telah menjemput. Namun takdir berkata lain, nyawanya masih diselamatkan.
Syaiful adalah salah satu korban selamat dari tragedi ambruknya Musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia berhasil keluar hidup-hidup setelah tertimbun reruntuhan selama tiga hari.
“Pada rakaat pertama, cor-coran dan kayu mulai jatuh sedikit-sedikit, tapi kami kira tidak terjadi apa-apa. Saat rakaat kedua, tiba-tiba semuanya runtuh,” kenang Rosi pelan, ditemui di ruang perawatan, Senin, 6 Oktober 2025 dikutip dari http://beritasatu.com
Suasana sore itu seketika berubah mencekam. Para santri yang sedang salat Asar berhamburan menyelamatkan diri. Namun Rosi tak sempat lari. “Saya sempat ditarik saudara, lalu tertimpa beton di bagian kaki,” ujarnya.
Di bawah timbunan reruntuhan, Rosi hanya bisa mendengar suara tangisan dan rintihan teman-temannya. Di sebelahnya, dua santri lain juga terjepit. “Awalnya saya pasrah, lalu berteriak minta tolong, tapi anak-anak lain menyuruh diam dan menunggu bantuan,” kisahnya lirih.
Waktu berjalan begitu lambat. Ia tak tahu siang atau malam. Yang bisa ia lakukan hanya berzikir, membaca istigfar dan salawat berulang-ulang. “Saya baca istigfar, salawatan, dan pasrah. Sudah terpikir akan mati,” ucapnya.
Hingga akhirnya, di hari ketiga, samar-samar terdengar suara dari luar reruntuhan. “Ada yang manggil, saya jawab ‘ada, Pak’. Lalu disuruh mengetuk-ngetuk. Katanya semua anak yang selamat sudah dievakuasi. Saya diselamatkan kedua,” cerita Rosi.
Namun perjuangan keluar dari reruntuhan tak mudah. Saat tubuhnya ditarik, tangannya tersangkut di potongan cor-coran. “Rasanya sakit sekali. Tapi saya bersyukur masih bisa hidup,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Meski kesakitan, Rosi tetap memikirkan temannya yang juga terjebak di bawah puing. “Saya minta penyelamat menolong teman saya dulu. Baru saya. Mereka masuk, ngebor cor-coran di kaki saya, terus angkat saya keluar,” ujarnya.
Kini, telapak kaki kanan Rosi harus diamputasi akibat luka parah. Namun semangatnya untuk pulih tak pernah padam.
Ayahnya, Idrus, tak pernah berhenti memberi kekuatan. “Sekarang kondisinya sudah membaik. Saya cuma khawatir dia minder setelah amputasi. Kadang dia tanya soal kakinya. Saya bilang, nggak apa-apa, yang penting kamu masih hidup,” ucap Idrus dengan suara bergetar.
Bagi Rosi, hidup kedua yang diberikan Tuhan bukan sekadar keajaiban — melainkan pengingat bahwa di balik musibah, selalu ada harapan. “Saya cuma ingin bisa jalan lagi dan kembali mengaji,” katanya lirih, menatap jauh ke depan.