• ABOUT US
  • Redaksi
  • Indeks Berita
  • Standar Perlindungan Profesi Wartawan
  • Pedoman Media Siber
tangselxpress.com
Senin, 27 Oktober, 2025
  • HOME
  • NEWS
    • NASIONAL
    • DAERAH
    • MEGAPOLITAN
  • REGIONAL
    • BANTEN
    • TANGERANG SELATAN
    • TANGERANG RAYA
  • POLITIK
    • PILKADA 2024
  • PENDIDIKAN
  • EXPLORE TANGSEL
    • KULINER
    • WISATA
    • KOMUNITAS
  • EKONOMI
    • UMKM
    • EKONOMI BISNIS
  • GAYA HIDUP
    • BEAUTY
    • SELEBRITI
    • FILM & MUSIK
    • KESEHATAN
    • PARENTING
    • SERBA SERBI
  • OLAHRAGA
  • HUKUM
    • XPRESSLAW
  • PENDIDIKAN
  • VIDEO
  • EPAPER
  • OPINI
  • RAMADAN
No Result
View All Result
  • HOME
  • NEWS
    • NASIONAL
    • DAERAH
    • MEGAPOLITAN
  • REGIONAL
    • BANTEN
    • TANGERANG SELATAN
    • TANGERANG RAYA
  • POLITIK
    • PILKADA 2024
  • PENDIDIKAN
  • EXPLORE TANGSEL
    • KULINER
    • WISATA
    • KOMUNITAS
  • EKONOMI
    • UMKM
    • EKONOMI BISNIS
  • GAYA HIDUP
    • BEAUTY
    • SELEBRITI
    • FILM & MUSIK
    • KESEHATAN
    • PARENTING
    • SERBA SERBI
  • OLAHRAGA
  • HUKUM
    • XPRESSLAW
  • PENDIDIKAN
  • VIDEO
  • EPAPER
  • OPINI
  • RAMADAN
No Result
View All Result
tangselxpress.com
No Result
View All Result
Home PENDIDIKAN

Tren Berbahaya: Anak Kecil dan Sepeda Listrik, Siapa yang Bertanggungjawab?

Aenna Rahman by Aenna Rahman
Juni 14, 2025
in PENDIDIKAN
Reading Time: 5min read
Tren Berbahaya: Anak Kecil dan Sepeda Listrik, Siapa yang Bertanggungjawab?
228
SHARES
3.3k
VIEWS

DALAM beberapa tahun terakhir, kita bisa melihat bagaimana sepeda listrik menjadi salah satu tren transportasi baru di kalangan masyarakat, terutama di kota-kota besar. Kemunculan sepeda listrik sebagai alternatif kendaraan ramah lingkungan tentu patut diapresiasi, apalagi di tengah isu pemanasan global dan kebutuhan akan efisiensi mobilitas sehari-hari.

Namun, di balik kemajuan teknologi ini, muncul satu fenomena yang semakin mencemaskan saya sebagai seorang mahasiswa, yaitu maraknya anak-anak di bawah umur yang menggunakan sepeda listrik tanpa pengawasan yang memadai. Fenomena ini bukan hanya menjadi perdebatan etika dan regulasi, tetapi juga menjadi kenyataan yang penuh risiko yang berpotensi mengancam keselamatan generasi muda kita.

Ketika saya melihat anak-anak kecil bahkan yang masih duduk di bangku sekolah dasar dengan santainya mengendarai sepeda listrik di trotoar atau bahkan di jalan raya, saya tak bisa menahan perasaan khawatir. Mereka belum memiliki pemahaman yang matang soal lalu lintas, mereka belum cukup tinggi untuk menjangkau dengan sempurna pedal rem atau kontrol lainnya, dan yang paling penting, mereka belum memiliki kemampuan kognitif untuk menilai bahaya di jalan. Ini bukan hanya masalah teknis atau sekadar soal izin dari orang tua, melainkan masalah keselamatan yang sangat fundamental. Seorang anak kecil yang mengendarai sepeda listrik sejatinya sedang membawa potensi kecelakaan yang tidak hanya bisa mencelakai dirinya sendiri, tetapi juga pengguna jalan lainnya.

Salah satu alasan mengapa hal ini menjadi sangat berbahaya adalah karena sepeda listrik, meskipun terlihat sederhana, tetap merupakan kendaraan bermotor dengan kecepatan yang tidak bisa dianggap remeh. Beberapa model sepeda listrik bahkan bisa mencapai kecepatan hingga 30–40 km/jam. Bayangkan seorang anak usia delapan atau sembilan tahun mengendarai kendaraan dengan kecepatan seperti itu di jalan raya yang padat. Jangankan anak kecil, orang dewasa pun bisa celaka jika tidak hati-hati saat mengemudikan kendaraan pada kecepatan tersebut. Anak-anak tidak memiliki kontrol yang cukup terhadap kendaraan dan tidak memiliki refleks yang terlatih untuk menghindari situasi berbahaya. Ketika mereka terjatuh, risiko cedera kepala, patah tulang, hingga trauma serius sangat tinggi dan fakta bahwa banyak dari mereka tidak menggunakan helm atau pelindung tubuh membuat situasi ini makin berbahaya.

Saya pernah menyaksikan sendiri kejadian yang sangat menyedihkan di depan kampus tempat saya kuliah. Seorang anak perempuan yang masih memakai seragam sekolah dasar sedang mengendarai sepeda listrik bersama temannya. Mereka terlihat tidak focus, tertawa-tawa, saling mendorong satu sama lain, dan tanpa helm. Di sebuah tikungan, mereka tidak menyadari bahwa ada mobil yang berhenti mendadak. Mereka tidak sempat mengerem, lalu menabrak bagian belakang mobil itu dan terpental ke aspal. Saya tidak tahu bagaimana kondisi mereka setelahnya karena saya hanya sempat melihat dari kejauhan, tapi suara benturan dan jeritan mereka masih terngiang dalam kepala saya. Kejadian itu membuat saya sadar, bahwa sepeda listrik bukanlah mainan. Ini adalah kendaraan, dan kendaraan selalu punya risiko. Sayangnya, anak-anak tidak diajarkan tentang hal ini, dan lebih parahnya lagi, orang tua pun banyak yang membiarkan atau bahkan menyediakan sepeda listrik untuk anak-anak mereka sebagai bentuk “kemewahan modern”.

BACA JUGA :  Memanfaatkan Kemajuan Teknologi dalam Memasarkan Produk Hasil Kerajinan

Di media sosial, kita sering menemukan video anak-anak mengendarai sepeda listrik dengan gaya yang mengundang decak kagum dan likes. Tapi apakah mereka sadar bahwa di balik video yang viral itu, ada potensi bahaya besar? Saya pikir masyarakat kita sedang terlena dengan kemudahan dan modernisasi, sehingga lupa bahwa ada aspek keselamatan yang harusnya menjadi prioritas. Ketika anak-anak diberi akses terhadap kendaraan yang seharusnya digunakan oleh orang dewasa, maka mereka sedang diposisikan dalam situasi yang tidak sesuai dengan kapasitas dan usia mereka. Mereka belum mengerti apa itu etika berkendara, apa itu tanggung jawab di jalan, dan apa konsekuensi dari satu kesalahan kecil yang bisa berakibat fatal.

Saya juga merasa bahwa kurangnya regulasi yang tegas dari pemerintah turut memperparah masalah ini. Saat ini, penggunaan sepeda listrik masih berada di wilayah abu-abu, antara kendaraan pribadi dan mainan rekreasi. Tidak ada aturan yang jelas soal usia minimum, standar keselamatan, ataupun zona penggunaan. Hal ini membuat orang tua merasa bahwa tidak ada masalah jika anaknya membawa sepeda listrik ke jalan raya. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, misalnya dengan membuat aturan batas usia minimal atau kewajiban penggunaan alat pelindung, maka kita akan melihat semakin banyak kasus kecelakaan yang melibatkan anak-anak dan sepeda listrik. Yang lebih menakutkan adalah jika anak-anak mulai merasa bahwa mengendarai sepeda listrik adalah hak mereka, tanpa menyadari tanggung jawab dan risiko yang menyertainya.

BACA JUGA :  Alasan Mengapa Buah Kurma Tidak Dikerumuni Semut Meskipun Manis

Sebagai mahasiswa yang terbiasa melihat realitas dari berbagai perspektif, saya bisa memahami mengapa sebagian orang tua memberikan sepeda listrik kepada anak-anak mereka. Mungkin karena alasan praktis, seperti memudahkan anak ke sekolah, atau karena tekanan sosial dari lingkungan sekitar. Tapi pada titik tertentu, kita harus bertanya apakah kenyamanan sesaat pantas dibayar dengan risiko keselamatan anak-anak? Saya pikir jawabannya jelas tidak. Sebagai generasi muda yang menjadi saksi dari dampak langsung modernisasi, kita harus berani menyuarakan kekhawatiran ini. Kita harus menekankan bahwa keselamatan anak-anak tidak boleh dikompromikan hanya demi tren atau kenyamanan.

Penggunaan sepeda listrik seharusnya diatur dengan bijak. Anak-anak harus diberi pemahaman bahwa mereka belum siap secara fisik dan mental untuk mengendalikan kendaraan ini. Orang tua harus menyadari bahwa memberikan sepeda listrik pada anak kecil bukanlah bentuk kasih sayang, tetapi bisa menjadi bentuk kelalaian. Jika ingin memberikan anak kebebasan bergerak, maka ada banyak cara yang lebih aman dan sesuai dengan usia mereka. Bisa dengan sepeda biasa, atau dengan jalan kaki bersama teman-teman, yang jauh lebih sehat dan tidak berisiko tinggi.

Hal lain yang juga menjadi perhatian saya adalah aspek psikologis dari kebiasaan ini. Anak-anak yang terlalu cepat diberi akses terhadap alat transportasi pribadi seperti sepeda listrik bisa jadi tumbuh dengan mentalitas instan dan minim tanggung jawab. Mereka belum cukup matang untuk memahami bahwa di jalan, setiap tindakan memiliki konsekuensi. Ketika mereka mengalami kecelakaan, bukan hanya luka fisik yang mereka bawa, tetapi juga trauma yang bisa mengganggu perkembangan emosional mereka. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang membiasakan mereka terhadap bahaya yang tidak perlu.

Saya percaya bahwa peran pendidikan juga sangat penting dalam isu ini. Sekolah-sekolah seharusnya mulai memasukkan edukasi keselamatan jalan raya dalam kurikulum, sejak usia dini. Anak-anak perlu tahu bahwa kendaraan bukan mainan, dan bahwa keselamatan di jalan adalah tanggung jawab bersama. Begitu pula media dan influencer yang memiliki dampak besar terhadap pola pikir generasi muda. Mereka harus lebih bijak dalam menyebarkan konten terkait penggunaan sepeda listrik oleh anak-anak. Jangan sampai konten viral justru menjadi bumerang yang menormalisasi kebiasaan berbahaya ini.

BACA JUGA :  Akuntansi Pertanggungjawaban: Peranannya dalam Meningkatkan Efisiensi Organisasi

Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, saya semakin yakin bahwa tren penggunaan sepeda listrik oleh anak-anak bukan sekadar masalah kebiasaan atau gaya hidup, melainkan mencerminkan kekosongan kontrol sosial dan lemahnya perhatian terhadap keselamatan generasi muda. Tidak bisa kita anggap ini hanya sebagai tanggung jawab individu. Justru yang lebih penting, kita sebagai masyarakat harus mulai membangun kesadaran kolektif bahwa anak-anak memiliki batasan yang harus dihormati demi perlindungan mereka sendiri. Membiarkan anak-anak kecil melaju di jalan raya dengan sepeda listrik ibarat melepaskan mereka ke medan tempur tanpa pelindung. Dan ketika hal buruk terjadi, penyesalan datang selalu terlambat.

Sebagai mahasiswa yang cukup sering naik angkutan umum dan jalan kaki ke kampus, saya menyaksikan langsung bagaimana jalan raya adalah tempat yang keras. Banyak pengendara dewasa saja masih egois, melanggar lampu lalu lintas, tidak memberi jalan kepada pejalan kaki, apalagi jika berbicara soal kendaraan besar seperti truk dan bus yang sering ugal-ugalan. Dalam ekosistem jalan seperti itu, menempatkan anak kecil dengan sepeda listrik jelas bukan keputusan yang masuk akal. Mereka tidak hanya berisiko dari kesalahan mereka sendiri, tetapi juga dari kelalaian orang lain yang tidak bisa mereka kontrol. Dalam konteks seperti ini, sepeda listrik menjadi seperti ‘perangkap manis’. Mudah digunakan, tidak memerlukan surat izin, tapi penuh jebakan yang bisa berakibat fatal.

Saya pernah berbincang dengan seorang teman kos yang merupakan mahasiswa jurusan psikologi. Kami berdiskusi panjang tentang bagaimana anak-anak memproses rasa bahaya. Ia menjelaskan bahwa hingga usia remaja, kemampuan kognitif untuk menilai risiko masih belum berkembang sempurna. Otak bagian prefrontal cortex yang berfungsi untuk pengambilan keputusan dan kontrol impuls masih berkembang. Itu artinya, anak-anak secara biologis memang tidak mampu menilai seberapa besar bahaya yang mungkin mereka hadapi saat berkendara. Mereka cenderung mengutamakan kesenangan, dorongan spontan, dan sering meniru perilaku yang mereka lihat tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Hal ini sangat relevan dengan sepeda listrik, karena banyak anak-anak yang merasa “keren” saat mengendarainya, merasa setara dengan orang dewasa, tanpa tahu bahwa mereka sedang berada di luar zona aman mereka.

 

Penulis:

Dinda Nafisah dan Denisah Maulan

Mahasiswi Universitas Pamulang

Tags: Artikel Mahasiswa Unpambahaya sepeda listrikSepeda listrik anak
Previous Post

Efektivitas Media Belajar Interaktif dalam Meningkatkan Minat Baca Anak Panti Asuhan

Next Post

Prabowo Terima Telepon dari Presiden AS Donald Trump, Ini yang Dibahas

Related Posts

Bocah 8 Tahun yang Hanyut di Kali Pamulang Estate Sudah Ditemukan
TANGERANG SELATAN

Tragedi di Pamulang: Bocah 8 Tahun Tewas Terseret Arus Kali Pamulang Estate

Oktober 27, 2025
2.4k
Entrepreneur Cilik: Edukasi Catat Untung Rugi Bisnis Sederhana
PENDIDIKAN

Entrepreneur Cilik: Edukasi Catat Untung Rugi Bisnis Sederhana

Oktober 26, 2025
2.4k
Commuterline Jalur Green Line: Antara Sesak dan Produktif
PENDIDIKAN

Commuterline Jalur Green Line: Antara Sesak dan Produktif

Oktober 24, 2025
2.8k
Mahasiswa Universitas Pamulang Dorong Anak Panti Wujudkan Mimpi Lewat “Balon Udara Cita-Cita”
PENDIDIKAN

Mahasiswa Universitas Pamulang Dorong Anak Panti Wujudkan Mimpi Lewat “Balon Udara Cita-Cita”

Oktober 24, 2025
2.8k
Tragedi Gudang Dekorasi Pondok Kacang: Kelalaian Kecil, Kerugian Besar
PENDIDIKAN

Tragedi Gudang Dekorasi Pondok Kacang: Kelalaian Kecil, Kerugian Besar

Oktober 22, 2025
3.5k
Membangun Kecerdasan Finansial dan Deteksi Penipuan Keuangan di Kalangan Pelajar
PENDIDIKAN

Membangun Kecerdasan Finansial dan Deteksi Penipuan Keuangan di Kalangan Pelajar

Oktober 20, 2025
2.9k
Next Post
Prabowo Terima Telepon dari Presiden AS Donald Trump, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Telepon dari Presiden AS Donald Trump, Ini yang Dibahas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • ABOUT US
  • Redaksi
  • Indeks Berita
  • Standar Perlindungan Profesi Wartawan
  • Pedoman Media Siber

© 2022 TangselXpress.com

No Result
View All Result
  • HOME
  • NEWS
    • NASIONAL
    • DAERAH
    • MEGAPOLITAN
  • REGIONAL
    • BANTEN
    • TANGERANG SELATAN
    • TANGERANG RAYA
  • POLITIK
    • PILKADA 2024
  • PENDIDIKAN
  • EXPLORE TANGSEL
    • KULINER
    • WISATA
    • KOMUNITAS
  • EKONOMI
    • UMKM
    • EKONOMI BISNIS
  • GAYA HIDUP
    • BEAUTY
    • SELEBRITI
    • FILM & MUSIK
    • KESEHATAN
    • PARENTING
    • SERBA SERBI
  • OLAHRAGA
  • HUKUM
    • XPRESSLAW
  • PENDIDIKAN
  • VIDEO
  • EPAPER
  • OPINI
  • RAMADAN

© 2022 TangselXpress.com