ISU utang negara kembali menjadi sorotan publik. Per April 2025, Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah Indonesia telah menembus angka Rp8.200 triliun. Meski rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih di bawah ambang batas aman, yakni sekitar 38%, pertanyaannya bukan sekadar seberapa besar, melainkan seberapa sehat dan untuk apa utang tersebut digunakan.
Pemerintah kerap menyatakan bahwa utang adalah “alat fiskal” yang sah untuk mendanai pembangunan. Dan memang, banyak infrastruktur besar seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara, tak mungkin berdiri tanpa dukungan pembiayaan jangka panjang. Namun, apakah seluruh utang negara benar-benar dialokasikan secara produktif?
Di sinilah letak kekhawatiran publik, terutama generasi muda yang kelak harus menanggung beban fiskal tersebut. Utang produktif seharusnya menghasilkan manfaat jangka panjang seperti pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian anggaran juga digunakan untuk membiayai belanja yang bersifat konsumtif, seperti subsidi energi yang tidak tepat sasaran atau program bantuan yang minim evaluasi dampak.
Di tengah ketergantungan utang, pemerintah juga harus membayar bunga utang yang nilainya terus membengkak. APBN 2025 mengalokasikan lebih dari Rp500 triliun hanya untuk pembayaran bunga utang. Artinya, hampir seperempat dari total penerimaan pajak kita tidak digunakan untuk pembangunan, melainkan untuk membayar beban masa lalu. Ini tentu bukan sinyal fiskal yang sehat.
Kita tidak anti utang. Tapi seperti halnya berutang dalam rumah tangga, kita perlu disiplin dalam membedakan utang untuk keperluan konsumtif dengan utang untuk investasi produktif. Yang menjadi masalah adalah ketika utang dijadikan solusi jangka pendek tanpa peta jalan yang jelas untuk meningkatkan pendapatan negara secara berkelanjutan.
Dalam konteks lokal seperti Tangerang Selatan, kita bisa merasakannya secara tidak langsung. Ketika ruang fiskal nasional menyempit akibat beban utang, anggaran transfer ke daerah ikut terdampak. Akibatnya, program pembangunan di daerah seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur publik sering kali mengalami keterbatasan dana. Padahal, daerah juga sedang bertarung untuk menurunkan angka pengangguran dan memperkuat ekonomi UMKM pascapandemi.
Pemerintah perlu lebih transparan dalam menyampaikan informasi utang negara. Edukasi publik harus ditingkatkan, agar masyarakat tidak hanya menjadi objek dari kebijakan fiskal, tetapi juga subjek pengawas yang kritis. Generasi muda harus dilibatkan dalam dialog ekonomi, bukan sekadar sebagai pewaris beban, tapi sebagai bagian dari solusi.
Langkah ke depan, pemerintah harus mulai fokus pada optimalisasi penerimaan pajak dari sektor yang masih belum tergarap maksimal, seperti ekonomi digital dan kekayaan alam. Reformasi birokrasi perpajakan juga harus disertai dengan transparansi dan akuntabilitas anggaran.
Mengandalkan utang terus-menerus untuk menutup defisit tanpa membangun fondasi ekonomi yang kuat hanya akan membuat kita berjalan di tempat. Kita butuh strategi fiskal yang berpihak pada masa depan, bukan sekadar untuk kepentingan politik jangka pendek.
Karena sejatinya, keberlanjutan fiskal bukan soal angka, tetapi soal keberanian untuk berhemat, berinovasi, dan membangun negeri ini dengan tanggung jawab antargenerasi.
Penulis:
Yuliandi Akbar
Mahasiswa Magister Akuntansi, Universitas Pamulang