JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan adanya fenomena kemarau basah di sejumlah wilayah Indonesia. Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto mengatakan, kemarau basah adalah kondisi di mana musim kemarau yang seharusnya kering, namun masih mengalami hujan secara signifikan.
Selain itu, lanjutnya, kelembapan udara masih relatif tinggi selama fenomena kemarau basah ini. Kelembapan udara ditandai oleh banyak sedikitnya uap air yang ada di dalam udara.
Tingginya kelembapan udara ini kemudian menyebabkan kondisi yang tidak biasa di wilayah terjadinya kemarau basah.
“Kemarau basah adalah fenomena tidak biasa yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan iklim dan pola cuaca yang tidak stabil,” kata Guswanto. Ia menambahkan saat ini, diketahui ada sejumlah sirkulasi siklonik, fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, Rossby Ekuator, dan Low Frequency di berbagai wilayah Indonesia.
Guswanto juga mengungkap, fenomena kemarau basah ini terjadi di beberapa wilayah Indonesia tertentu. “Terutama wilayah yang pola hujannya monsunal, yaitu di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara,” jelasnya.
Tipe curah hujan bersifat unimodal atau hanya memiliki satu puncak musim hujan dan kemarau. “(Kemarau basah) prakiraan (terjadi) hingga masuk musim kemarau 2025, Juni-Agustus,” tutur Guswanto.
Sementara, kata dia, seharusnya pada September-November 2025, Indonesia sudah memasuki pancaroba, dari musim kemarau ke hujan. Kemudian dari Desember 2025 sampai dengan Februari 2026, wilayah Indonesia memasuki musim hujan.
“Kemarau basah dapat memiliki dampak yang signifikan pada berbagai sektor, termasuk pertanian, lingkungan, dan kehidupan sehari-hari,” kata Guswanto.