JAKARTA – DPR RI mengamanatkan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN untuk tetap menjadi koordinator Percepatan Penurunan Stunting di Indonesia.
Hal ini tertuang dalam hasil kesimpulan Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Dr. Wihaji, S.Ag., M.Pd. beserta jajarannya di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI Gedung Nusantara I, Jakarta.
Penyampaian hasil kesimpulan dibacakan oleh Pimpinan Rapat Ketua Komisi IX DPR RI drg. Putih Sari dan disepakati oleh seluruh Anggota Komisi IX rapat tersebut.
“Pada poin satu, Komisi IX DPR RI mendesak Kemendukbangga/BKKBN untuk melakukan penyusunan ulang strategi dan penguatan kualitas intervensi Percepatan Penurunan Stunting dengan (a) mengkaji Perpres nomor 72 Tahun 2021 tentang PPS untuk disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi Kemendukbangga/BKKB; (b) Memprioritaskan intervensi pada kelompok sasaran yang berisiko dan memiliki potensi terdampak; (c ) Mengoptimalkan pemanfaatan data surveilans dan Keluarga Berisiko Stunting (KRS) sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan; (d) Menjamin integrasi program PPS ke dalam RPJMD, RKPD, dan APBD dengan pendekatan berbasis bukti dan partisipatif; dan (e) Memperkuat kelembagaan dan fungsi koordinasi TPPS dan Tim Pengendali GENTING di tingkat pusat dan daerah,” terangnya.
Dalam paparannya di hadapan para Anggota Komisi IX DPR RI, Menteri Wihaji menjelaskan bahwa Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 masih tahap pembahasan untuk diperpanjang yang menjadi dasar Kemendukbangga/BKKBN sebagai koordinator Percepatan Penurunan Stunting di Indonesia.
“Kita punya Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting yang berakhir Desember 2024 yang sekarang proses sedang pada tahapan pembahasan untuk memperpanjang Perpres tersebut masih ditangani Bappenas dan beberapa kita sudah rapat untuk sinkronisasi tentang kelanjutan Perpres 72 tersebut,” jelasnya.
Menurut Wihaji data terbaru tahun 2024 prevalensi stunting belum dirilis oleh Kementerian Kesehatan. Saat ini data prevalensi stunting tahun 2023 berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) masih pada angka 21,5%. Ia menyampaikan evaluasinya yang menjadi permasalahan baik pada tingkat Kementerian/Lembaga hingga lini lapangan.
“Pertama, problem yang tidak asing, pemahaman masyarakat terkait pencegahan stunting. Ini problem tradisional tapi masih dinamis. Karena faktanya memang masih ada pemahaman bahwa stunting itu dianggap penyebabnya hanya masalah gizi. Padahal ada juga mulai dari pra hamil, ada pernikahan dini, ada sanitasi dan sebagainya,”
Kedua, tambahnya, tentang intervensi yang selama ini belum terfokus pada pencegahan dan masih berorientasi kepada penanganan anak stunting. Ia menekankan perlunya presisi intervensi yang dilaksanakan dengan anak yang berisiko dan berpotensi stunting yang biasa disebut KRS (Keluarga Berisiko Stunting).
“Yang ketiga laporan capaian program perlu lebih berkualitas bukan hanya sebatas pemenuhan cakupan. Keempat belum sepenuhnya memanfaatkan data hasil survei atau surveilans sebagai data basis untuk evaluasi dalam pengambilan keputusan dan intervensi. Bahasa sederhananya siapa yang diintervensi siapa yang disurvey tidak linier,”
Kelima, intervensi terkesan hanya pada yang bermasalah yang bemasalah gizi padahal banyak masalah lain yang melibatkan stakeholders terkait. Dan permasalahan terakhir ialah pengadaan anggaran stunting yang secara ideal seharusnya memperhatikan komposisi tentang intervensi sensitif, spesifik maupun tata kelola.
Selain stunting, hasil kesimpulan rapat ini juga menekankankan Kemendukbangga/BKKBN untuk menguatkan pelaksanaan program Pembangunan keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) serta Generasi Berencana (GenRe) sebagai langkah pengendalian Pengendalian angka kelahiran untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk dan optimalisasi bonus demografi dan penguatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga berbasis pendekatan siklus hidup.
Peningkatan kesejahteraan melalui perlindungan sosial ketenagakerjaan, kapasitas, dan distribusi yang proporsional bagi tenaga Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan menjamin keberlanjutan program melalui penguatan ekosistem kolaboratif dan layanan KB yang inklusif.