TANGSELXPRESS– Kecurangan akuntansi, sebuah fenomena yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap dunia bisnis, seringkali dipandang sebagai persoalan teknis atau sistemik. Namun, di balik angka-angka dan laporan keuangan yang dimanipulasi, terdapat dinamika psikologis yang kompleks yang mendorong individu untuk melakukan tindakan yang tidak etis.
Psikologi menawarkan perspektif yang mendalam tentang mengapa orang melakukan kecurangan, dan dengan demikian, memberikan landasan yang kuat untuk mengembangkan strategi pencegahan yang efektif.
Menurut R.A. Supriyono, Akuntansi keperilakuan adalah dimensi akuntansi perilaku manusia dan hubungannya dengan pendesainan, penyusunan, dan penggunaan informasi akuntansi secara efisien dan efektif untuk mencapai keselarasan tujuan-tujuan.
Korupsi terlibat dalam kasus penipuan akuntansi. Terjadinya kecurangan akuntansi (fraud) merupakan salah satu cikal bakal munculnya tindak pidana korupsi. Penipuan pada dasarnya adalah upaya yang disengaja untuk mengeksploitasi hak orang lain demi keuntungan pribadi. Penipuan akuntansi adalah salah saji yang diakibatkan oleh penipuan pelaporan keuangan, yaitu penyajian yang salah atau penghilangan jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan dengan sengaja untuk menipu penerima laporan keuangan.
Kasus penipuan akuntansi biasanya berulang di Indonesia dan ditandai dengan tindakan dan kebijakan yang menghapus atau menyembunyikan informasi nyata untuk tujuan manipulasi. Indonesia memiliki sejumlah penyimpangan akuntansi, termasuk kejahatan perbankan, manipulasi pajak, keterlibatan 10 kantor akuntan publik (KAP) dalam melakukan audit terhadap 37 bank sebelum dimulainya krisis keuangan 1997, dan kasus korupsi di pengadilan. Insiden tersebut akhirnya terungkap. Komisi Pemilihan Umum (Putra, 2012).
Penipuan akuntansi diklasifikasikan sebagai kejahatan kerah putih jika dilihat dari perspektif kriminal. Sutherland, dikutip oleh Geis dan Meyer (1977), menyatakan bahwa kejahatan kerah putih dalam dunia bisnis meliputi misrepresentasi dalam laporan keuangan, manipulasi di pasar modal, suap komersial, suap langsung atau tidak langsung, dan suap pejabat publik. Mereka menjelaskan bahwa kejahatan kerah putih tersebut termasuk penerimaan dana dan penggelapan pajak dan kebangkrutan
Berikut faktor psikologis yang mendorong kecurangan, antara lain;
Tekanan:
Tekanan untuk mencapai tujuan yang tidak realistis, ancaman kehilangan pekerjaan, atau keinginan untuk mempertahankan gaya hidup mewah dapat menimbulkan perasaan terpojok dan membuat Anda mengambil jalan pintas. Tampilannya akan seperti ini. Misalnya, studi kasus Enron menunjukkan bagaimana tekanan berlebihan untuk mempertahankan pertumbuhan perusahaan yang tinggi menyebabkan para eksekutif perusahaan memanipulasi keuangan mereka.
Rasionalisasi:
Para penipu seringkali merasionalkan tindakannya dengan meyakinkan diri sendiri bahwa tindakannya sah atau akan segera mengembalikan uang yang dicurinya. Mereka mungkin menyatakan bahwa “semua orang melakukannya” atau bahwa perusahaan “berkewajiban untuk melakukannya”.
Peluang:
Kemungkinan besar penipuan tidak terdeteksi, sehingga berpotensi meningkatkan risiko penipuan. Sistem pengendalian internal yang lemah atau kurangnya pengawasan dapat menciptakan lingkungan di mana penipuan dapat terjadi.
Integritas Lemah:
Orang dengan integritas lemah lebih cenderung melakukan tindakan tidak etis. Faktor-faktor seperti moral, nilai-nilai, dan keyakinan pribadi dapat memengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan penipuan.
Narsisme dan Arogansi:
Orang dengan tingkat narsisme tinggi cenderung memiliki citra diri yang tinggi dan merasa kebal terhadap hukum. Mereka mungkin merasa bahwa aturan tidak berlaku bagi mereka dan mereka dapat “mengalahkan” sistem.
Lalu adapun penerapan psikologi dalam pencegahan penipuan, yaitu;
Membangun Budaya OrganSaluran Pelaporan yang Aman dan Efektif:isasi yang Kuat:
Budaya organisasi yang menghargai integritas, etika, dan akuntabilitas dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak menoleransi penipuan. Manajer yang memimpin dengan memberi contoh dan berkomunikasi secara terbuka tentang nilai-nilai etika dapat menjadi panutan bagi karyawannya.
Pelatihan etika komprehensif:
Pelatihan etika seharusnya tidak hanya menyampaikan kode etik perusahaan tetapi juga memberikan pemahaman tentang dilema etika yang sering dihadapi dunia bisnis. Simulasi dan studi kasus membantu karyawan mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan membuat keputusan etis.
Saluran pelaporan yang mudah diakses, anonim, dan efektif memungkinkan karyawan melaporkan dugaan pelanggaran tanpa takut akan pembalasan.
Rotasi dan pemantauan pekerjaan yang tepat:
Rotasi pekerjaan yang teratur dapat mengurangi risiko penipuan organisasi. Selain itu, pemantauan ketat terhadap transaksi keuangan sensitif juga penting untuk mencegah penipuan.
Program Tunjangan Karyawan:
Program tunjangan karyawan yang baik dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan kepuasan kerja, dan mengurangi tekanan pada karyawan untuk berperilaku buruk.
Kecurangan akuntansi merupakan permasalahan kompleks yang tidak hanya melibatkan faktor teknis namun juga faktor psikologis yang mendalam. Dengan memahami motivasi dan perilaku pelaku kecurangan, perusahaan dapat menyusun strategi pencegahan yang lebih efektif. Dengan membangun budaya organisasi yang kuat, memberikan pelatihan etika yang komprehensif, dan menciptakan lingkungan kerja yang positif, perusahaan dapat mengurangi risiko penipuan dan membangun reputasi yang positif.
Dengan hal tersebut hal yang mungkin dapat dilakukan yaitu, pendidikan etika perlu dimulai sejak dini baik di tingkat sekolah maupun universitas. Kurikulum pendidikan akuntansi harus mencakup konten tentang etika bisnis dan studi kasus tentang penipuan akuntansi.
Selain itu, di dalam pemerintah harus memperkuat peraturan akuntansi dan audit untuk mencegah penipuan. Sanksi yang lebih tegas harus diberikan kepada pelaku penipu.
Penulis:
Shafa Salsabila Lenda Siregar
Mahasiswi Universitas Pamulang
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.