ANGGOTA BPK RI, Fathan Subchi mengungkapkan komitmen kuat BPK RI untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan. Hal ini tidak hanya strategis tetapi juga responsif terhadap isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat. Namun, apakah langkah-langkah ini cukup untuk mengatasi tantangan besar dalam tata kelola Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH)?
Tantangan terbesar dalam tata kelola PTN-BH adalah penerapan prinsip good corporate governance (GCG). Sebagai institusi yang mandiri, PTN-BH diharapkan mampu mengelola sumber daya dan dana secara transparan, akuntabel, dan efektif. Sayangnya, banyak rekomendasi BPK RI atas hasil pemeriksaan kepada 12 PTN-BH hingga tahun 2023 belum sepenuhnya ditindaklanjuti. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip GCG belum sepenuhnya terinternalisasi dalam manajemen PTN-BH.
Salah satu elemen penting yang perlu diperkuat adalah komunikasi audit antara BPK RI, Komite Audit, dan manajemen PTN-BH. Komunikasi yang efektif tidak hanya sebatas penyampaian hasil audit, tetapi juga harus mencakup diskusi strategis mengenai langkah-langkah perbaikan. Misalnya, rekomendasi yang diberikan BPK RI sering kali tidak ditindaklanjuti karena tidak adanya mekanisme komunikasi dua arah yang mendalam. Dalam hal ini, Komite Audit perlu menjadi fasilitator komunikasi yang memastikan setiap temuan audit diterjemahkan menjadi rencana aksi yang jelas dan dapat diimplementasikan.
Selain itu, pelaporan audit juga menjadi komponen krusial. Laporan audit yang transparan dan informatif dapat menjadi alat kontrol sekaligus referensi bagi pemangku kepentingan dalam mengevaluasi kinerja PTN-BH. Namun, pelaporan audit selama ini seringkali hanya bersifat formalitas tanpa disertai tindak lanjut yang konkret. Untuk itu, laporan audit harus dirancang agar lebih analitis dan memberikan solusi yang aplikatif. Dengan begitu, laporan tidak hanya menjadi dokumen administratif tetapi juga alat strategis untuk memperkuat tata kelola.
Komite Audit, sebagai pengawas internal di PTN-BH, memiliki peran yang sangat vital dalam memastikan prinsip GCG terimplementasi. Namun, peran ini sering terkendala oleh kurangnya kapasitas dan independensi. Agar dapat menjalankan fungsi ini secara optimal, perlu ada penguatan kapasitas melalui pelatihan dan dukungan teknis dari BPK RI. Selain itu, Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai pemegang otoritas tertinggi juga harus lebih aktif dalam memastikan hasil audit ditindaklanjuti.
Tidak kalah pentingnya adalah keberlanjutan kebijakan dalam tata kelola PTN-BH. Tantangan utama yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menjaga kesinambungan kebijakan meskipun terjadi pergantian kepemimpinan. Tanpa sistem yang kokoh, kebijakan strategis sering kali berhenti di tengah jalan. Oleh karena itu, penerapan prinsip GCG tidak hanya menjadi kebutuhan administratif tetapi juga keharusan moral untuk memastikan keberlanjutan tata kelola yang baik.
Ke depan, sinergi antara BPK RI, Komite Audit, dan MWA harus menjadi prioritas untuk menciptakan tata kelola PTN-BH yang lebih transparan, akuntabel, dan berkelanjutan. Komunikasi audit yang intensif, pelaporan audit yang relevan, serta penguatan penerapan GCG adalah langkah strategis yang tidak bisa ditunda. Tanpa perbaikan dalam ketiga aspek ini, PTN-BH akan sulit memenuhi ekspektasi publik sebagai institusi yang mandiri dan profesional dalam mengelola pendidikan tinggi.
Penulis:
Rusli
Mahasiswa Universitas Pamulang Jurusan Akuntansi
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.