Oleh: DAHLAN ISKAN
Sang Begawan Media
“Selamat ya… Anda sudah membuat sejarah.” Saya pun menyalaminya.
Tapi tetap saja Irfan Setiaputra diganti. Lebih cepat dari periode lima tahunnya sebagai dirut Garuda Indonesia.
Itu memang hak pemegang saham: direksi perusahaan bisa diganti kapan saja. Biar pun ia/dia berprestasi. Bahkan tanpa alasan sekali pun.
Saya bertemu Irfan Sabtu lalu. Yakni di satu acara keluarga: perkawinan Rivo, putra mantan Ketua Umum PWI Pusat Margiono dengan seorang dokter di BSD, dekat Jakarta.
Saya jadi saksi pihak laki-laki. Irfan saksi dari pengantin wanita –putri seorang pensiunan pilot asal Nias.
“Saya harus akui bahwa saya kalah taruhan dengan Anda,” kata saya kepadanya. “Saya pikir Garuda sudah tidak bisa diselamatkan. Ternyata Anda berhasil menyelamatkannya”.
Irfan tetap masih tinggi, jangkung, menjulang di antara yang hadir di acara itu. Di antara karangan bunga terlihat kiriman dari Wapres Gibran Rakabuming Raka.
—
“Harusnya Anda, setelah punya waktu, menulis buku di balik sukses penyelamatan Garuda. Akan sangat menarik dan diperlukan sebagai bahan pelajaran bagi para pimpinan perusahaan,” kata saya.
“Rasanya tidak mungkin ditulis. Terlalu banyak trik yang harus tetap disimpan sampai kapan pun,” bisiknya.
Saya tidak tahu trik apa saja yang dilakukan. Saya hanya bisa memperkirakan: pemerintah ikut turun tangan secara all out. Khususnya Menteri BUMN Erick Thohir dan Menkeu Sri Mulyani.
DPR-nya juga tidak bersikap oposisi. Semua skenario terbaik bisa dilaksanakan.
Skenario itu: pailitkan saja Garuda. Ajukan gugatan pailit ke pengadilan niaga. Yang maju bisa Garuda sendiri –mempailitkan diri.
Bisa juga pihak lain yang “dirayu” Garuda agar mau mempailitkan Garuda. Rayuan seperti itu tentu harus dilakukan secara rahasia. Secara legal itu tidak boleh dilakukan, tapi di dalam kenyataan di lapangan sering sekali terjadi.
Setelah perkara masuk di pengadilan, tinggal dua kemungkinan. Garuda dinyatakan pailit atau terjadi perdamaian.
Kalau Garuda dinyatakan pailit maka seluruh harta Garuda dilelang. Hasil lelang dibagi ke para kreditur secara proporsional.
Kenyataannya aset Garuda sangat kecil. Padahal utangnya sekitar Rp 180 triliun. Kalau aset itu dilelang lebih tidak bernilai lagi: harga lelang.
Maka tidak ada kreditur yang ingin Garuda pailit.
Pilihan lain: berdamai (homologasi). Para kreditur berdamai dengan Garuda.
Maka para kreditur bisa minta agar Garuda mengajukan usul: bentuk perdamaiannya seperti apa.
Di tahap itu Garuda berada di atas angin. Begitulah perusahaan. Yang punya utang lebih gagah dari yang diutangi. Juga lebih berkuasa. Bisa lebih mendikte. Maka, guyonnya, kalau punya utang sekalian yang luar biasa besarnya.
Atas perintah pengadilan, Garuda pun menyusun rencana perdamaian. Garuda mengajukan banyak syarat untuk mau berdamai. Pengadilan memberi waktu dua minggu. Rasanya itu tidak mungkin. Menyusun usulan perdamaian untuk utang hampir Rp 200 triliun tidak mungkin dalam dua minggu.
Garuda minta waktu lebih panjang: dua bulan. Pengadilan mengabulkan.
Saya bisa membayangkan betapa stres direksi Garuda di bulan-bulan itu. Betapa panjang jam kerja mereka. Malam bisa seperti siang dan siang tetap saja siang.
Akhirnya Garuda berhasil merumuskan syarat perdamaian. Pertama: semua utang harus dipotong sampai 80 persen. Kecuali utang ke sesama BUMN.
Dengan demikian Garuda tinggal membayar 20 persennya.
Dapat potongan sebanyak sekitar Rp 140 triliun adalah prestasi direksi yang tidak boleh dilupakan.
Garuda masih mengajukan syarat lain: dari sisa 20 persen itu yang dua pertiganya dibayar dengan saham. Sedang yang sepertiganya harus mau dicicil selama 10 tahun.
Usulan itu ditawarkan kepada para kreditur. Siapa setuju, siapa menolak. Dilakukanlah pemungutan suara: 18 kreditur tidak mau menerimanya, 347 kreditur mau menerimanya. Berarti 5 persen menolak, 95 persen menerima.
Pengadilan pun membuat putusan: 22 Juni 2022. Putusannya: homologasi. Perdamaian.
Betapa sulit direksi Garuda “merayu” satu per satu kreditur yang akan memberikan suara di voting itu.
Merayu 347 perusahaan tidaklah mudah. Apalagi sebagian dari luar negeri. Mereka berhasil: 95 persen setuju atas syarat yang diajukan Garuda.
Dengan demikian utang yang perlu dicicil Garuda tinggal sekitar Rp 10 triliun. Atau kurang. Itu pun dibayarkan selama 10 tahun.
Dengan demikian Garuda menjadi sangat sehat. Beban pembayaran utangnya sangat kecil. Mustahil kalau tidak bisa mencicilnya selama 10 tahun.
Dirut baru Garuda, Wamildan Tsani Panjaitan, harus menjaga agar cicilan yang sudah kecil itu jangan sampai tidak mampu dibayar. Begitu gagal bayar otomatis Garuda pailit –kecuali ada dewa penolong seperti yang terjadi di Sritex, Solo.
Tentu Tsani juga ingin membesarkan kembali Garuda. Kini armada Garuda sangat sedikit –banyak rute lama yang dihapus atau dikurangi jadwalnya.
Saya lihat orangnya mampu. Saya pernah berbincang bersama di satu acara di Bali. Apalagi ia sudah “magang” selama lebih setahun sebagai dirut Lion Air.
Umur Tsani baru 43 tahun. Ia pensiun muda dari TNI-AU dengan pangkat Kapten. Ia pilot pesawat tempur yang kemudian punya hak mengemudikan Boeing 737.
Tsani alumnus SMA Taruna Nusantara, Magelang. Meski berdarah Batak, Tsani kelahiran Wamena, pedalaman Papua. Maka Tsani menambah jumlah alumni Taruna Nusantara yang masuk jajaran elite di pemerintahan Prabowo Subianto.
Mungkin sudah ada lima generasi Taruna Nusantara yang ada di jajaran elite Prabowo.
Dirut Garuda Indonesia Wamildan Tsani Panjaitan dan Menkomdigi Meutya Hafid, 3 Desember 2024.-Instagram Wamildan Tsani-
Yang kemudian juga jadi kasak-kusuk adalah: bagaimana nasib Pelita Air.
Awalnya Pelita dijadikan perusahaan penerbangan berjadwal hanya sebagai “cadangan” kalau-kalau Garuda pailit.
Ternyata Garuda bisa diselamatkan. Bisa kembali sehat. Hanya susunan pemegang sahamnya yang berubah.
Kini Garuda dimiliki pemerintah 64,54 persen, Trans Airways 7,99 persen, publik 4,83 persen, dan saham konversi utang 22,63 persen.
Dengan kembali sehatnya Garuda, kini negara punya tiga maskapai penerbangan: Garuda, Pelita, dan Citilink. Tidak mudah kalau ada keinginan untuk menyatukan mereka. (*)
Tulisan ini sudah terbit di Disway.id