TANGSELXPRESS – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengklarifikasi pernyataannya terkait tragedi 1998 yang tidak ia anggap sebagai pelanggaran HAM berat. Klarifikasi ini muncul setelah diumumkannya kabinet baru pada 20 Oktober 2024, yang menimbulkan kritik dari masyarakat.
Yusril menyatakan bahwa perlu dilihat kembali rekomendasi dari Komnas HAM untuk menentukan sikap pemerintah terkait tragedi tersebut. Ia menekankan, jika pertanyaan yang diajukan sebelumnya merujuk pada genosida atau pembersihan etnis, maka menurutnya, hal itu tidak terjadi pada 1998.
“Nanti kita lihat apa yang direkomendasikan oleh Komnas HAM kepada pemerintah. Kemarin, tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya, apakah terkait genocide atau ethnic cleansing. Apabila memang dua poin itu yang ditanyakan, maka tidak terjadi pada waktu 1998,” ujar Yusril seperti dikutip dari beritasatu.com.
Yusril juga menjawab kritik yang menuding dirinya kurang memahami peristiwa 1998. Menurutnya, ia paham tentang pelanggaran HAM karena terlibat dalam pembentukan Undang-Undang Pengadilan HAM.
“Saya cukup paham terhadap pengadilan HAM karena saya sendiri yang mengajukan UU Pengadilan HAM ke DPR. Tentu saya paham hal-hal yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat sesuai Undang-Undang Pengadilan HAM kita,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pemerintah akan meninjau kembali tragedi 1998 dan kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum ada keputusan statusnya. Hal ini termasuk mempertimbangkan rekomendasi dari tim yang dibentuk sebelumnya dan Komnas HAM, bekerja sama dengan Menteri HAM, Natalius Pigai.
“Tentu pemerintah akan mengkaji semua itu, termasuk rekomendasi yang diberikan oleh tim yang dibentuk sebelumnya serta oleh Komnas HAM. Saya akan berkomunikasi dengan Pak Natalius Pigai (Menteri HAM) untuk menelaah berbagai rekomendasi tentang pelanggaran HAM berat dan sikap pemerintah ke depan,” terangnya.
Meskipun pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo sudah mengakui tragedi 1998 sebagai pelanggaran HAM berat, Yusril menilai bahwa pemerintahan baru di bawah Prabowo-Gibran tidak salah jika ingin mengkaji kembali status tersebut berdasarkan rekomendasi dan pandangan yang ada.
“Kategori itu sudah dikemukakan dan diputuskan oleh pemerintah sebelumnya. Namun, pemerintah saat ini belum melakukannya, dan tidak ada salahnya apabila kami mempelajari rumusan pemerintah yang lalu serta rekomendasi dari Komnas HAM dan pandangan masyarakat,” tambahnya.