Oleh : Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Kemarin, Jumat 27/09/2024 saya mendapat kabar lucu dari rekan-rekan media bahwa katanya ada Pasukan yang sudah bau tanah, alias “Pasukan Bawah Tanah (Pusbata)” mendadak muncul dan menampakkan diri ke atas permukaan tanah, menuju Bareskrim Polri untuk membuat laporan terhadap saya atas “Penghinaan Lambang Negara (?)”
Lucu?
Ya Lucu, karena Pusbata dalam keterangannya menyebut bahwa Lambang Negara yang dimaksud adalah Gibran Rakabuming Raka (GRR) yang sampai saat ini juga belum dilantik menjadi Wakil Presiden.
Sebenarnya kalau Pusbata itu mau sedikit saja belajar referensi yang benar, tentu sikapnya tidak lucu alias memalukan seperti diatas. Karena ketentuan mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang negara, serta Lagu kebangsaan Indonesia diatur dalam Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
Detailnya di Pasal 36A UUD 1945 itulah dinyatakan bahwa Lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, serta diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang negara serta Lagu Kebangsaan.
Saya terusterang auto-senyum mendengar upaya pelaporan ini, karena selain yang (katanya) dilaporkan adalah soal “Lambang Negara” GRR tersebut, juga mereka mempertanyakan angka kesimpulan 99,9 persen yang memastikan bahwa akun yang terbukti kerap melontarkan hate-speech terhadap berbagai tokoh seperti Prabowo Subianto dan keluarganya, SBY, Megawati, Anies Baswedan hingga Kelompok 212, kemudian melakukan pelecehan artis wanita seperti Syahrini, Wanda Hamidah, Rachel Maryam dsb (total ada sekitar 11 artis), akses ke puluhan situs porno baik dalam negeri maupun ke luar negeri, bahkan menyinggung soal SARA tersebut adalah GRR.
PasBata kemarin juga kabarnya membuat laporan tentang pencemaran nama baik dan Kabar Bohong (?), namun karena legal-standingnya tidak jelas karena seharusnya GRR, kalau memang dia yang merasa namanya dicemarkan, maka dia sendirilah yang seharusnya melapor dan tidak sok (menyuruh) diwakilkan oleh “tukang lopar-lapor” sekelas PasBata itu.
Lucunya juga sampai tulisan ini dibuat belum ada satu mediapun yang berhasil mendapatkan Nomor LP serta rincian pasal-pasal yang dilaporkannya karena konon tidak ditunjukkannya, maka sayapun saat ini masih merasa belum perlu bersikap selain hanya senyum senyum saja.
Menariknya, seperti sudah diatur dari Atas (sesungguhnya, bukan sekedar Atas tanah apalagi bawah tanah), Jumat malam kemarin adalah hari pertama pertunjukan ke-42 Teater Indonesia Kita dengan Lakon “Si Manis Jembatan Merah” karya Agus Noor dan Joind Bayuwinanda.
Bertempat di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM), pertunjukan seni yang didasari oleh kegelisahan akan nilai-nilai berbangsa dan bernegara namun tetap didasari tema dan semangat nasionalis ini mengangkat judul yang menggiring para penonton untuk membayangkan akan mendapatkan sajian cerita horor.
Dimainkan oleh para aktor dan aktris andalan Indonesia Kita, yaitu Butet Kartaredjasa, Cak Lontong, Akbar Kobar, Abdel Achrian, Inaya Wahid, Sha Ine Febriyanti, Bude Sumiarsih, Marwoto, Susilo Nugroho, Joened, dan Wisben. Pertunjukan semalam diiringi musik dari Orkes Sinten Remen yang dulu dipopulerkan oleh Alm. Djaduk Ferianto dan dimeriahkan oleh para penari dari DvK Art Movement.
Pertunjukan teater ini mengisahkan keberadaan sebuah Jembatan di suatu kota yang memiliki nilai sejarah penting bagi penduduk di situ. Ada berbagai kenangan yang melekat di jembatan tersebut termasuk keberadaan hantu perempuan yang konon kerap menangis.
Agus Noor sebagai penulis naskah dan sutradara, menyatakan bahwa lakon ini memang sengaja mengambil mitos bernuansa horor tentang penunggu sebuah jembatan untuk mengajak penonton memahami makna di balik kisah yang dipertunjukkan.
Lucunya, kalau ini benar-benar lucu dan elegan, penampilan Inaya Wahid sebagai pemilik rumah warisan di bawah Jembatan satu-satunya dari Almarhum ayahnya yang jujur karena tidak suka cawe-cawe kerap menyampaikan kritik sosialnya yang sangat aktual. Seperti kata “wokowokowok” yang viral saat pentas sebelumnya, semalam kata “Fufufafa”-pun seringkali terucap dan membuat meriah gelak tawa seisi Gedung Tertawa terbahak-bahak.
Apalagi penampilan Butet Kartaredjasa yang menggunakan kostum bak “Raja Jawa” yang berulangkali menampilkan dialog satire namun cerdasnya, sangat membuat pertunjukan semalam benar-benar lucu sekaligus tidak ndeso sebagaimana pelaporan PasBata beberapa jam sebelumnya.
Meski saya cermati ada naskah yang tampaknya di”take down” alias tidak jadi dipentaskan soal kritikan terhadap Kereta Cepat sebagaimana naskah sebelumnya, secara utuh penampilan Teater Indonesia Kita ke-42 semalam cukup menggigit meski tidak setajam seperti lakon “Musuh bebuyutan” akhir tahun 2023 lalu yang sayangnya sempat ada cerita soal “intimidasi”.
Bagi saya pementasan Teater“Si Manis Jembatan Merah” ini bukan sekedar hiburan, meski benar-benar lucu dan terbukti menghibur secara cerdas Ini adalah sebuah ajakan untuk kembali merasakan makna nasionalisme dan kebangsaan, untuk merefleksikan perjalanan sejarah yang kita tempuh, dan untuk mengingatkan bahwa di balik setiap jembatan—baik yang terlihat maupun yang tidak—tersimpan cerita yang tak boleh kita lupakan.
Pentas ini juga sangat penting untuk melatih otak kanan dan otak kiri dalam mengolah logika dan kewarasan, seperti kalimat semalam yang membuat seluruh penonton Teater besar TIM tertawa yakni “Minum Susu, Susu Fafa, Fufu Bendera …”
Kesimpulannya, bagaikan bumi dan langit jika memperbandingkan “kelucuan” (baca: sekaligus kedunguan, kalau meminjam istilahnya Rocky Gerung) yang dipertontonkan oleh Pelaporan PasBata ke Bareskrim bila dibandingkan dengan Pertunjukan Teater Indonesia Kita yang selain benar-benar lucu juga sangat cerdas dan waras dalam menggunakan kapasitas otaknya.
Tentu lakon teater semalam tidak akan bisa dinikmati jika otak seseorang sudah rusak sebagian akibat seringnya mengumpat hate-speech, mengakses situs porno dsb (yang memerlukan pemeriksaan Brain CT-Scan) dan perawatan sebagainana saran dokter ahli syaraf dan jiwa sebelumnya … Ambyar.
Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
Jakarta, 28 September 2024