LEBIH 12 tahun tidak berjumpa anak muda ini kian sukses saja. Usaha kecilnya kini membesar berlipat-lipat.
Waktu saya ke rumahnya dulu ia masih ikut orang tua. Usahanya masih di tingkat rintisan. Ia masih mahasiswa semester enam Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Di teknik kimia.
Sambil kuliah ia terus menekuni usaha kecilnya. Jenis usahanya itu terlihat akan bisa menjadi besar. Kecil tapi jenis “blue ocean”: Neo Algae.
Namanya: Machmud Lutfi Huzain. Kini 34 tahun. Neo Algae-nya berkembang ke mana-mana.
Laba usahanya sudah di atas Rp 10 miliar setahun. Machmud juga sudah punya anak dua. Hampir tiga. Tinggalnya masih di Sukoharjo, Solo.
Machmud memang tipe anak muda yang tidak mudah menyerah. Ia begitu yakin akan rintisan usahanya.
Ia minta pendapat saya. Saya datangi rumahnya. Lihat sendiri kolam algae-nya. Lalu berbincang panjang: menyelami gejolak keinginannya.
Waktu itu kolam algae itu dibangun di halaman samping rumahnya. Kolam sederhana. Ia dapat benih algae dari dosen kimianya di Undip. Itu benih algae air payau.
Di Sukoharjo airnya tawar. Machmud mendalami algae lebih dalam: agar benih algae air payau bisa dikembangkan di kolam air tawar.
Berhasil.
Justru itulah keunggulan algae yang dikembangkan Machmud. Algae-nya sangat bersih. Tidak mengandung logam berat. Terutama tidak terkontaminasi microcystin.
Dari kolam sederhana yang saya lihat kala itu Machmud belajar banyak. Belajar dari kegagalan-kegagalannya.
Misalnya bagaimana agar air kolam bisa terus berputar agar algae-nya tidak mati. Ia juga belajar dari gagal panennya.
Awalnya untuk memanen algae itu Machmud menggunakan saringan kain blaco. Air kolam yang sudah padat algae diayak pakai kain.
Airnya jatuh, algae-nya tertahan di kain. Ternyata banyak algae yang ikut terbuang bersama air. Dari situ Machmud mengganti saringan kain dengan membran dengan lubang-lubang 50 micron.
Dua tahun lamanya usaha rintisan itu tidak memberikan hasil. Tepung algae yang dikeringkannya sulit diterima pasar. Harganya terlalu mahal.
Setelah banyak belajar dari kesalahan lama Machmud membangun kolam baru. Di tempat lain. Di tanah tegal milik ayahnya. Luasnya 6000 m2.
Machmud kian tahu: kualitas air sangat menentukan. Maka di lokasi baru itu ia membuat sumber air sendiri. Sumur bor. Dari dalam tanah yang dalam.
Dari lokasi baru ini Machmud mulai melihat titik terang. Kuliahnya juga sudah selesai. Bahkan ia mendapat bisa mendapat karyawan yang punya keahlian di bidang algae. Namanya: Mohammad Zusron. Ia lulusan biologi UGM. Lalu mengambil master di Belanda: tentang algae.
Pulang dari Belanda, Zusron cari-cari informasi: apakah ada perusahaan bidang algae di Indonesia. Ketemulah perusahaan yang dimiliki Machmud. Ia minta magang di situ. Selesai magang Machmud memintanya kerja di perusahaannya.
Sang ahli punya peran penting dalam mengembangkan algae. Zusron kini menjadi direktur di kelompok usaha Machmud.
Machmud terpikir usaha algae ketika masih mahasiswa di Undip. Sambil kuliah Machmud ikut MLM –multilevel marketing.
Salah satu produk yang harus ia jual di MLM adalah kapsul spirulina. Kok mahal. Kok laku.
Machmud pun mencari tahu: apa bahan baku spirulina. Ternyata algae. Machmud pun mencari tahu bagaimana cara mengembangkan algae.
Kebetulan dosennya di Undip lagi punya proyek penelitian algae. Yakni bisakah algae dikembangkan untuk menyelesaikan limbah di pabrik kelapa sawit. Agar limbah itu dimakan algae.
Machmud justru terpikir algae dijadikan bahan baku suplemen spirulina, kosmetik, dan bahan makanan.
Sebelum ikut MLM, Machmud juga sudah berbisnis. Untuk biaya kuliah. Ia jualan es krim. Di kampus Undip. Ayahnya membelikan mesin sederhana pembuat es krim.
Sang ayah juga pelaku MLM. Nama sang ayah: Narno Raharjo.
“Saya kerja MLM karena terpaksa,” katanya.
Dikatakan ”terpaksa” karena sang ayah harus menyelesaikan kewajiban besar: mengembalikan uang ratusan nasabah. Sebanyak Rp 12 miliar.
Narno, pengurus Muhammadiyah Sukoharjo, memang sempat dipercaya banyak orang untuk menangani dana investasi online: sarang burung.
Setelah Narno menyetorkan uang itu, ternyata investasi tersebut bodong. Ia digeruduk investor. Ia janji akan mengembalikan semua dana yang diserahkan padanya.
“Akhirnya saya bisa menyelesaikan semuanya. Saya cicil. Selama 12 tahun lunas,” ujar sang ayah.
Selama 12 tahun itu ia bekerja keras di MLM. Termasuk mengajak Machmud, anak sulungnya yang sedang kuliah.
Semua hasil usaha MLM itu untuk mengembalikan uang nasabah. Sedang untuk kehidupan rumah tangga didapat dari usaha istrinya: toko kelontong.
Machmud terus memperbesar usaha algae-nya. Kini ia sudah punya dua lokasi baru lagi. Dua-duanya di Klaten. Masing-masing 5000m2. Lokasi tersebut diincar karena airnya bagus. Ada sumber air tawar yang cocok untuk kolam algaenya.
Algae Machmud ini mengandung protein yang amat tinggi. Hampir tiga kali protein ikan. Lebih 800 kalinya wortel. Lima kalinya telur ayam. Vitamin E-nya 48 kali stroberi.
Ketika Machmud ke rumah menantunya Pak Iskan yang di Pacet, Mojokerto, kemarin siang, saya ucapkan selamat puluhan kali. Machmud telah jadi pengusaha besar –untuk ukuran Sukoharjo.
Di umur 34 tahun saya masih belum sekelas Machmud. Masih banting tulang tunggang langgang. Machmud memulai usaha di kategori blue ocean. Dari kecil. Setelah 12 tahun baru terlihat hasilnya.
Pesan saya: jangan buru-buru tergoda politik dan apalagi mikir naik pesawat pribadi.(Dahlan Iskan)
Artikel ini sudah tayang di Disway.id