INI lebih jauh tapi harus saya jalani. Dari Trenggalek ke Surabaya pilih lewat Ponorogo.
Sudah puluhan tahun saya tidak melewati jalur itu. Kangen. Memang memutar lebih jauh tapi bisa saja lebih cepat.
Apa lagi lewat jalur yang lebih pendek perlu empat jam juga. Yakni saat berangkat dari Surabaya ke Trenggalek. Lewat Kediri-Tulungagung. Tidak bisa tiga jam. Masih tambah setengah jam untuk makan ayam lodho di Resto Pak Yusuf –20 menit sebelum tiba di Trenggalek.
Trenggalek sebenarnya yang punya masakan lodho, tapi Tulungagung yang punya nama. Senasib dengan Jambi: duku Palembang itu banyak yang dari Jambi.
Dua tahun lagi, untuk ke Trenggalek tinggal perlu waktu dua jam. Yakni setelah tol Surabaya-Kertosono tembus ke perbatasan antara Tulungagung-Trenggalek –lewat bandara baru: Dhoho di Kediri.
Trenggalek punya bupati yang berprestasi. Muda sekali. Ganteng sekali. Dari PDI-Perjuangan. Dapat gelar Sukarno Kecil. Namanya Mochamad Nur Arifin. Istrinya baru terpilih sebagai anggota DPR Pusat juga dari PDI-Perjuangan.
Lain kali akan saya tulis apa saja kebijakan bupati yang anak tukang becak ini.
Trenggalek juga lagi mencoba sistem tanam padi hemat air. Dimulai dari uji coba di sebidang sawah. Setelah dua kali panen uji coba itu dianggap berhasil. Tahun ini akan dicoba di 20 hektare.
Inilah sawah bermembran.
Begini: sawah lama dikeruk sampai 40 cm. Lalu dihampari plastik di bawah dan sampingnya –sampai ke atas galengan.
Lalu tanah yang dikeruk tadi dikembalikan. Diolah. Diisi air. Ditanami. Hanya sekali itu mengisi air. Sesama petani tidak perlu rebutan air setiap hari.
Saya baru akan menulis lebih banyak kalau yang 20 hektare itu sudah panen kelak.
Dari Trenggalek ke Ponorogo hanya perlu waktu satu jam. Lewat kaki selatan Gunung Wilis. Naik turun. Berliku. Tapi sepi.
Tentu ada maksud tersembunyi di Ponorogo: makan sate ayam khas di sana. Di resto yang, meski banyak presiden RI pernah ke sana, saya justru belum pernah.
Ada dua kabar yang saya dapat di resto itu: baik dan buruk. Kabar baiknya: sate ayam ini memang enak. Pantas banyak foto presiden ada di dindingnya.
Kabar buruknya: seseorang curhat di resto itu tentang jeleknya nasib peternak sapi. Banyak peternak yang kembali jadi petani atau pergi merantau.
Misalnya yang di kecamatan Pudak, Ponorogo. Mereka awalnya sangat bergairah. Punya harapan bisa naik ke kelas menengah.
Itu terjadi setelah Covid-19. Bank menawari mereka kredit kepemilikan sapi perah. Satu orang bisa dapat dua ekor. Untuk membayar bunga dan cicilan diambil dari hasil perahan susu.
Lancar. Sesuai harapan. Tidak ada masalah pemasaran. Pabrik susu Nestle selalu membelinya.
Datanglah penyakit mulut dan kuku (PMK). Banyak sapi mati. Yang tidak mati pun tidak lagi produktif. Harus dijual dengan harga bantingan.
Yang tersisa adalah utang di bank. Mereka tidak tahu lagi bagaimana harus mengatasinya. Tidak mungkin lagi cari pinjaman baru di bank. Nama mereka sudah masuk daftar hitam.
Sate ini enak. Tapi pikiran ini tidak enak.(Dahlan Iskan)
Tulisan ini sudah ditayangkan di Disway.id