TANGSELXPRESS– Tahun pertama diperintahkan puasa Ramadhan, Kota Madinah tengah dilanda panas dan kekeringan. Meski sebagian sahabat sudah mafhum lantaran perintah serupa pernah ada dalam agama tauhid sebelumnya, akan tetapi menahan lapar dan dahaga saat cuaca sangat tak ramah tetap saja bukan tantangan sembarangan.
Salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw yang taat adalah Qais bin Shirmah. Dengan tetap penuh semangat, ia menjalankan ibadah puasa tanpa sedikit pun mengurangi kebiasaan bekerja.
Magrib pun tiba. Sesampainya di rumah, Qais menanyakan menu apa yang bisa disantap untuk berbuka.
“Maafkan aku, suamiku. Tak ada satu makanan pun yang dapat dihidangkan hari ini. Tunggulah, aku akan mencarikannya untukmu,” jawab istri Qais.
Tak ada takjil yang tersedia, bukan perkara aneh. Sebab, dalam kebiasaan puasa sebelumnya tidak dikenal kesunahan santap sahur dan berbuka.
Karena menunggu cukup lama, Qais pun terlelap. “Kasihan sekali wahai engkau, Qais,” ucap lirih sang istri sekembali pulang, tanpa berani membangunkan.
Pagi harinya, Qais terbangun, menunaikan salat Subuh dan langsung kembali bekerja di ladang. Hingga di tengah hari kemudian, terdengar kabar ia pun jatuh pingsan.
Apa yang menimpa Qais, akhirnya sampai ke telinga Rasulullah. Nabi bermenung, kemudian Allah SWT menurunkan penjelasan dalam QS. Al-Baqarah: 187;
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
Nabi Muhammad kemudian menyampaikan firman tersebut kepada para sahabat. Rasulullah juga bersabda, “Pembeda antara puasa kita (Muslim) dengan puasa ahli kitab (agama terdahulu) adalah makan sahur.”
Mendapat kabar baik yang disampaikan Rasulullah, para sahabat merasa lega dan gembira. Di masing-masing benaknya yakin, anjuran santap sahur itu makin menjelaskan bahwa Islam adalah sebenar-benarnya agama keselamatan.(*)