TANGSELXPRESS – Hati saya senang bukan main saat Mas Bimo mengatakan kepadaku, bahwa kami akan segera menempati rumah baru. Yah, rumah hadiah orang tua Mas Bimo untuk kami.
“Minggu depan kita pindahan ya dik. Ini hadiah untuk Shila,” kata Mas Bimo.
Shila adalah anak perempuan pertama kami. Dia baru berusia delapan bulan. Dia lahir di Hari Jumat Kliwon, melalui drama yang cukup menegangkan.
Saya masih ingat, saat melahirkan Shila, disertai hujan angin dan petir yang sangat keras. Lampu rumah sakit sempat beberapa kali padam walau hanya dalam hitungan detik. Beruntung, Shila berhasil lahir dengan selamat tanpa kurang suatu apa.
Pakde Gunadi sempat mengatakan kepada kami. Hujan angin yang disertai petir saat itu hanyalah pertanda bahwa alam menyambut Shila dengan riang gembira.
“Anakmu nanti akan memiliki keistimewaan,” kata Pakde Gunadi.
Hari yang ditunggu kemudian tiba. Kami harus mempersiapkan diri untuk pindah rumah. Rumah pemberian neneknya Shila.
Rumah mungil itu berada di sebuah kompleks perumahan yang lokasinya belasan kilometer dari rumah Mas Bimo.
Berada di hook, rumah dua lantai bercat coklat muda itu tampak indah. Halamannya cukup luas dan rumah itu banyak sekali memiliki jendela yang tentunya bagus untuk sirkulasi udara.
Namun, hatiku merasa agak ganjil saat melihat pohon kamboja di pojok halaman belakang. Aku merasa, seseorang berada di pohon itu dan menatap dengan rasa tidak suka.
Sebagai orang Jawa tulen, memang menanam pohon kamboja di halaman rumah sangatlah pamali. Karena kalua di tanah Jawa, pohon Kamboja hanya akan ditanam di pemakaman atau kuburan.
“Mas, yang nanam pohon Kamboja itu siapa,” tanyaku kepada Mas Bimo.
“Dari developer dik, memang kenapa,” jawa Mas Bimo.
Saat itu aku tak mau memperdebatkan soal pohon Kamboja itu meski perasaanku sedang tak enak. Mas Bimo masih sibuk menatap barang ini dan itu di rumah baru kami.
Malam harinya, Shila rewel. Dia nangis terus tanpa bias dihentikan. Suara tangisannya sungguh menyayat hati, seperti bayi yang sedang ketakutan.
Sebagai ibu, tentu aku juga ikutan gelisah. “Mungkin suasana rumah baru dik,” kata Mas Bimo berusaha menenangkan kekalutanku.
Kejadian Shila rewel itu berlangsung hingga 5 hari pertama kami menempati rumah baru. Hatiku jujur makin gelisah.
“Kenapa sih kamu rewel nak,” tanyaku pada Shila saat dia menangis di malam hari.
Kali ini, rewelnya Shila tak seperti biasanya. Dia selalu menunjuk ke halaman belakang seperti melihat sesuatu. Wajahnya ketakutan.
“Ada apa nak?,” tanyaku pada Shila.
Shila tentu saja tak bias menjawab. Dia hanya menunjuk bagian belakang rumah kami.
Rasa penasaran membawaku ke belakang rumah. Ingin tahu ada siapa di sana.
Saat pandanganku menatap pohon Kamboja, detak jantungku seolah berhenti. Saat itulah aku melihat sesosok wanita tua berada di bawah pohon Kamboja.
Wanita itu memakai kebaya meski terlihat rombeng. Wajahnya mengerikan, sangat buruk dengan rambut yang acak-acakan.
Seketika aku menjerit sekuat tenaga yang kemudian membangunkan Mas Bimo yang sudah tertidur lelap.
Saking kuatnya aku berteriakj, sejumlah tetangga datang menghampiriku. Yang membuatku heran, saat itu tangis Shila ikut berhenti dengan menghilangnya bayangan nenek berkebaya rombeng.
Setelah kuceritakan semua yang aku alami, Mas Bimo kemudian berinisiatif memanggil kyai atau guru agamanya.
Setelah ritual mengusiran selesai dilakukan, Kyai Rustam Effendi mengatakan, nenek berkebaya rombeng itu adalah sebangsa jin yang ingin mengganggu kebahagiaan kami.
Jin itu, katanya, sengaja dikirim seseorang yang tidak mau dia sebutkan Namanya. “Biarlah itu menjadi dosa dia. Yang penting kamu dan keluargamu sekarang aman,” pesan Kyai Rustam.
Dan memang, sejak saat itu Shila tak pernah lagi rewel. Dan pohon Kamboja itu telah ditebang dan dibuang oleh Mas Bimo. (*)