TANGSELXPRESS – Saya sangat senang saat Seno, teman kuliahku mengajak pergi ke rumah Mbah Rekso, kakek buyutnya di Salatiga yang sudah almarhum. Maklum, sebagai anak kuliahan saat itu, pergi ke rumah teman adalah hiburan yang sangat menyenangkan.
Saya dan Seno adalah teman satu kampus. Kami sama-sama kuliah di Fakultas Teknik sebuah universitas swasta di Kota Yogyakarta.
Kami tak hanya berdua pergi ke Salatiga. Kami berempat, selain Seno ada juga Titin dan Imel. Dua teman mahasiswi yang masih satu kampus.
Dari Yogya, kami sengaja memilih naik sepeda motor menuju Salatiga. Jalan yang cukup jauh, membuat kami harus beberapa kali berhenti untuk istirahat.
Rumah Kakek Buyut Seno cukup besar. Berada di pedesaan dengan latar belakang Gunung Merbabu yang berdiri gagah.
“Kakek Buyut saya sudah lama meninggal dunia. Dan rumah sebesar ini hanya ditunggu Pak Darman yang merawat dan membersihkannya,” kata Seno.
Jika dilihat megahnya rumah ini, sudah pasti zaman dulu Mbah Rekso adalah orang kaya yang terpandang di desa itu.
Semua perabot rumah sebesar itu terbuat dari kayu jati terbaik. Sehingga wajar, jika rumah bercat putih itu tetap kokoh dan tak ada bagian yang rusak dimakan rayap.
“Dulu kakek juragan hasil bumi. Jadi warga di sini menjual hasil panen mereka ke kakek saya. Dan barulah kakek saya menjualnya kembali ke kota,” jelas Seno.
Saat kami masuk, di bagian ruang utama terdapat lukisan yang cukup besar. Lukisan itu sangat menarik perhatian saya karena ukurannya yang lumayan besar. Mungkin, ukuran lukisan itu adalah 2 kali 3 meter.
Lukisan wanita Jawa berkebaya biru itu benar-benar sangat keren dan seolah hidup. Senyum yang tergambar sangatlah manis. Senyum khas wanita Jawa yang terpandang.
“Ini lukisan nenek kamu kah,” tanyaku pada Seno.
“Waduh, saya gak tahu. Semua anggota keluarga di sini gak tahu siapa sosok wanita dalam lukisan itu. Bahkan, siapa yang melukis gambar wanita ini, keluarga kami juga tidak ada yang tahu,” jelas Seno.
Rasa penasaran membawa pandangan mataku ke bagian pojok kanan bawah. Di situ tertulis nama, “Juminten”, ditulis dengan cat putih. “Tidak ada yang tahu siapa Juminten itu. Bahkan nenek kami juga tak tahu rahasia lukisan itu,” terang Seno.
Kami melewatkan sore itu dengan makan dan minum kopi. Kami sama sekali tidak membahas tentang lukisan itu.
Namun, saya merasa ada keanehan pada lukisan berpigura warna emas itu. Mata Juminten terus menatap saya. Juminten seolah menjelma menjadi wanita sungguhan yang ingin mengajak berkenalan.
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 23.59. Waktu yang sudah teramat larut. Kami harus beristirahat setelah seharian menghabiskan waktu di atas sepeda motor.
Oleh Seno, saya diminta tidur di kamar belakang dekat dapur. Sedangkan Titin dan Imel satu kamar di bagian depan. Sedangkan Seno, saya tidak tahu dia tidur di kamar sebelah mana.
Saat menuju kamar, ada perasaan tidak enak yang menyergap hati saya. “Rumah segede ini, kira-kira berhantu gak ya,” batinku ketika itu.
Pintu kamar yang akan saya tempati terbuat dari kayu jati yang tua. Terlihat kokoh dan sangat tebal. Ukirannnya juga punya seni tingkat tinggi karena memiliki kerumitan yang luar biasa.
Perlahan, saya membuka pintu kamar dan mengucapkan salam.
“Assalamuallaikum,” kataku.
“Tak ada yang menjawab, berarti aman,” batinku lagi.
Saya pun bergegas menaruh barang-barangku di sudut kamar. Setelah itu, aku memilih untuk mandi agar badanku terasa segar.
Hal mengejutkan terjadi setelah aku selesai mandi. Saat keluar kamar kecil, aku melihat sosok wanita berkebaya biru berdiri menghadap jendela. Dia membelakangiku dan seolah memang menunggu aku selesai mandi.
Jantungku seketika berdetak cukup kencang. Wanita di depanku persis dengan lukisan yang berada di ruang utama.
“Maaf, mbak ini namanya siapa?” tanyaku dengan gemetaran.
“Nama saya Juminten. Mas Baskoro gak perlu takut,” kata Juminten menyebut namaku.
“Saya pengen kenalan dengan Mas Baskoro karena panjenengan orang baik dan penuh ilmu,” tambah Juminten.
“Ada yang bisa saya bantu mbak Juminten,” tanyaku.
“Rasa penasaranmu akan lukisan itu yang membawaku menemuimu Mas Baskoro,” kata Juminten.
Singkat cerita, Juminten menuturkan bagaimana dia bisa menjadi hantu di rumah Mbah Rekso. Jauh sebelum perang kemerdekaan, Juminten adalah seorang sinden kondang.
Memiliki wajah cantik, body aduhai dan suara merdu membuat Juminten terkenal seantero kota. Banyak pria yang ingin merebut hatinya. Tak terkecuali, Mas Haryo. Seorang petinggi pemerintahan saat itu.
Haryo ingin menjadikan Juminten sebagai istri keempatnya. Juminten jelas menolak keinginan Haryo.
Hal inilah yang kemudian membuat Haryo naik pitam. Melalui orang suruhannya, rencana jahat kemudian disusun.
Juminten dibunuh dan mayatnya dibuang ke hutan di kaki Gunung Merbabu.
Berbulan-bulan kemudian, Mbah Rekso yang ketika itu masih remaja secara tidak sengaja menemukan jasad Juminten yang tinggal tulang belulang.
Mbah Rekso kemudian menguburkannya secara layak dan mendoakannya.
“Sejak saat itu, saya ngenger (ikut) Mbah Rekso,” kata Juminten.