PADA abad ke-21, umat manusia menghadapi kesulitan yang berat di tingkat sosial, ekonomi, dan pribadi. Secara sosial, kita sedang berjuang dengan keserakahan yang dimanifestasikan dalam ketidakstabilan keuangan, perubahan iklim, dan invasi privasi pribadi, dan dengan intoleransi yang dimanifestasikan dalam fundamentalisme agama, krisis rasial, dan politik.
Secara ekonomi, globalisasi dan inovasi dengan cepat mengubah paradigma bisnis. Pada tingkat pribadi, kita berjuang dengan memenuhi kesempatan kerja dan mencapai kebahagiaan.
Pertumbuhan eksponensial teknologi dengan cepat menambah masalah melalui otomatisasi dan offshoring, yang menghasilkan gangguan sosial. Kemajuan pendidikan berada di belakang kurva kemajuan teknologi, seperti yang terjadi selama Revolusi Industri, mengakibatkan rasa sakit sosial.
Saat ini objek penelitian tentang tenaga-tenaga manusia yang tergantikan robot mungkin memang ada seperti di Jepang dan Amerika Serikat, tetapi kita perlu waspada, sebab ini adalah gejala global dan menyatu dengan pasokan teknologi yang akan berdampak pada penciptaan lapangan pekerjaan dan tentu saja berikutnya akan berhubungan dengan dunia pendidikan.
Jika kita tidak menyiapkan diri dengan baik, Indonesia kelak akan terkena imbasnya. Apalagi adopsi teknologi kini semakin cepat.
Fenomena sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan sejalan dengan geraknya waktu semakin berkembang, era digitalisasi mulai merambah kepada masyarakat dunia sehingga keberadaan organisasi untuk menghadapi masa ini perlu terus beradaptasi guna menciptakan efektivitas dan efisiensi kinerja organisasi.
Dalam lingkungan makro, Dunia kini tengah mengalami guncangan besar, sebagaimana yang diilustrasikan dengan baik oleh Fukuyama bahwa saat ini kita memasuki era disrupsi (gangguan), yakni disrupsi pada tatanan sosial yang disebabkan oleh oleh kemajuan teknologi. (Fukuyama, 1999, hal. 17).
Era disrupsi ini juga bisa ditandai dengan VUCA, yakni singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity. VUCA yang dimaksud disini menurut Nandram dan Bindlish adalah Volatility: changes occur in a high speed; Uncertainty: deterministic models that were appropriate for giving solutions do not work; Complexity: the access to the global world has made it easy to connect to every part of the world, yet it has become very complex; Ambiguity: there are several views to give meaning to things that happen around us. (Puneet & Sharda, 2017, hal. 3).
Pendidikan abad 21 memberikan pendekatan holistik untuk mendesain ulang kurikulum secara mendalam, dengan menawarkan kerangka kerja yang lengkap di empat dimensi pendidikan: pengetahuan, keterampilan, karakter, dan metakognisi. Pengetahuan harus mencapai keseimbangan yang lebih baik antara subjek tradisional dan modern, serta antar disiplin ilmu. Keterampilan berhubungan dengan penggunaan pengetahuan, dan terlibat dalam lingkaran umpan balik dengan pengetahuan. Kualitas karakter menggambarkan bagaimana seseorang terlibat dan berperilaku.
Adapun metakognisi menumbuhkan proses regulasi diri dan belajar bagaimana cara belajar dalam menguasai pemenuhan pengetahuan, keterampilan dan karakter. Jadi, kunci agar mampu berpengetahuan, berketerampilan dan berkarakter adalah metakognisi.
Menghadapi tantangan abad ke-21 tentu membutuhkan upaya yang disengaja untuk memupuk pertumbuhan pribadi peserta didik dan kemampuan untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan masyarakat sebagai warga dunia. (Bialik, Michael, Charles, Fadel, & Horvathova, 2015, hal. 1).
Menghadapi abad 21 proses pembelajaran bermakna seharusnya dimulai dengan pemecahan masalah dan berpikir tingkat tinggi yang berorientasi pada peserta didik dengan menggunakan sistem dan sumber belajar dalam arti luas, sehingga pendidik dan peserta didik keduanya bersamaan aktif dalam proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. (Arief, 2017, hal. iii).
Karena orientasi belajar haruslah mengarah atau melatih cara berpikir yang benar bagi peserta didik dan agar peserta didik dapat berpikir yang benar perlu untuk dilatih, maka pendidik harus berusaha memastikan bahwa peserta didik berpikir dalam kegiatan pembelajaran, hal ini berguna agar ke depannya peserta didik tidak selalu ber-taqlid dalam hidup.
Terlebih saat ini iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti maraknya tayangan pornografi; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obatan terlarang/narkoba yang tak terkontrol, ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup siswa (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti pelanggaran tata tertib sekolah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu narkoba, kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex) yang menjadi salah satu tantangan di era globalisasi ini yang harus dicari solusinya bersama.(Republika.co.id, 2019).
Di sekolah kenakalan siswa menjadi tanggungjawab sekolah, untuk itu sekolah perlu melakukan pembinaan moral, penanaman nilai-nilai dan pembentukan sikap dalam setiap kegiatan pembelajaran, agar setiap tindakan dan perbuatan siswa sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, dengan banyaknya waktu luang yang dimiliki siswa biasanya itulah kesempatan siswa melakukan perbuatan yang dianggapnya bisa menarik lingkungan sekitarnya walaupun tindakan tersebut dapat menimbulkan efek negatif. (Rohmad, 2004, hal. 24), karena sekolah itu mempunyai lima macam fungsi yang relevan di abad 21 ini, yaitu:
– Melakukan transmisi kebudayaan;
– Melakukan pembentukan pribadi murid;
– Melakukan integrasi sosial masyarakat;
– Melakukan inovasi sosial;
– Melakukan pra-seleksi dan pra-alokasi tenaga kerja serta mengajarkan murid berbagai macam peranan sosial.
Dengan demikian, dalam rangka menghadapi tantangan di abad 21 ini, peserta didik perlu mempelajari materi pelajaran yang berisi pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam sebuah situasi yang nyata.
Peserta didik juga perlu mengetahui kegunaan dari pengetahuan dan keterampilan yang tengah dipelajarinya, implikasinya maka peserta didik akan memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, aktifitas pembelajaran perlu direncanakan agar siswa dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari dalam “setting” yang realistik, sesuai dengan zamannya.
Penulis:
Rahma Karunia
Mahasiswi Semester 6 Manajemen S1 Universitas Pamulang
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.