BAHASA adalah alat yang kuat dan umum untuk komunikasi manusia. Budaya tercermin dalam bahasa. Akibatnya, bahasa mengandung standar budaya yang mengontrol bagaimana penuturnya berperilaku ketika berbicara.
Media sosial merupakan sarana komunikasi publik online yang efektif di era teknologi informasi ini. Penciptaan opini publik sangat dipengaruhi oleh media sosial di dunia maya, antara lain Twitter, Facebook, blog, dan forum diskusi online.
Platform ini saat ini sangat disukai oleh populasi global. Media sosial dapat digunakan dalam situasi ini untuk berbagai hal, seperti mempromosikan program, membentuk opini, mencitrakan orang atau kandidat, dan menyebarluaskan propaganda politik.
Meningkatnya penggunaan bahasa alay di kalangan remaja merupakan salah satu gambaran spesifik tentang bagaimana media sosial telah menyebabkan bahasa berubah.
Para pakar bahasa beranggapan bahwa fenomena pembentukan bahasa ini merupakan akibat dari pencemaran linguistik. Karena media sosial telah menjadi cara komunikasi yang populer, telah terjadi kontaminasi.
Tentu saja kosakata yang digunakan di media sosial berbeda-beda, beberapa orang menggunakan bahasa gaul, istilah sarkastik, kata-kata dari bahasa lain, dan akronim. Dan setelah melakukan investigasi, kami menemukan bahwa secara umum penggunaan bahasa di media sosial kurang baik dan tidak mengikuti pedoman penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pemakaian bahasa Indonesia dalam berinteraksi baik secara lisan maupun tulisan lambat laun akan mengubah cara kita berbahasa dan berkomunikasi dengan orang lain.
Sebagian besar remaja saat ini menggunakan frasa yang berasal dari bahasa Inggris, tetapi ada juga individu yang menggunakan istilah slang seperti “sabi”, meskipun kata yang tepat dalam penulisan bahasa Indonesia adalah “bisa”.
Hilangnya kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia—khususnya bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi bangsa dan yang harus kita hargai—adalah akibatnya. Kami putra dan putri Indonesia melestarikan bahasa persatuan Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Sumpah Pemuda III. Tulisan di media sosial seringkali menyimpang dari maksud yang dimaksudkan.
Munculnya ucapan-ucapan sarkastik merupakan tanda dari divergensi tersebut. Menurut data yang terkumpul, banyak pengguna media sosial yang suka mengombinasikan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah saat mengekspresikan emosinya.
Salah satu penggunaan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah penggunaan bahasa dalam media sosial. Bahasa yang sering kita gunakan di media sosial merupakan bahasa yang tidak baku dan tidak sesuai dengan KBBI.
Orang-orang yang senang bermedia sosial, tentu sudah hafal dengan kosakata baru atau pun singkatan kata yang tidak baku yang seringdigunakan saat berinteraksi melalui media sosial, seperti kata “gue” yang mana kata tersebut merupakan kata dari bahasa gaul yang berasal dari kata “aku”. Dalam kalimat tersebut ada kata “loba” dalam bahasa sunda, yang artinya “banyak” dan ada juga kata “weh” dalam bahasa sunda, yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia “kan”.
Tindakan untuk meningkatkan kesadaran akan nilai karakter bangsa di antara semua pemangku kepentingan sangat dibutuhkan. Media cetak dan elektronik harus berkontribusi, terutama pengguna media sosial yang jangkauannya luas bahkan global, klaim Tonbuloglu, Dolgun, dan Hasan (2016: 5).
Pembinaan karakter generasi muda dapat dilakukan secara memadai dengan memberdayakan semua aspek, termasuk pemangku kepentingan (orang tua, lembaga pendidikan, ormas, dll), untuk dapat berperan aktif dalam pendidikan karakter.
Karakter generasi muda perlu dikembangkan melalui pembudayaan, yaitu melalui pembinaan budi pekerti dan menanamkan nilai-nilai kehidupan sehingga menjadi budaya.
Mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dan memiliki banyak segi yang terdiri dari banyak suku, ras, dan agama yang berbeda, penting untuk dipahami bahwa bahasa berfungsi sebagai alat interaksi dan komunikasi internasional serta sarana untuk mengekspresikan emosi dan pikiran manusia.
Ini juga membantu orang mengenali dan menerima persamaan dan perbedaan di antara berbagai negara. Jika hal ini diabaikan, kemungkinan besar fungsi negatif Bahasa yakni fungsinya sebagai wahana penyampaian emosi dan gagasan manusia akan terwujud.
Alih-alih berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa bertindak sebagai katalisator konflik yang menyebabkan kesalahpahaman dan ketidaksepakatan di masyarakat, seperti yang terlihat di media sosial.
Penulis:
Aulan Niswah
Prodi Akuntansi S1
Universitas Pamulang
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.







