PADA saat ini, banyak sekali seseorang menjadi generasi sandwich atau bisa disebut sebagai generasi yang menghidupi generasi di bawahnya untuk keberlangsungan hidup. Istilah ini dicetuskan oleh profesor asal Kentucky University, yaitu Dorothy A. Miller, pada tahun 1981 dalam bukunya Social Work.
Dia menganalogikan fenomena ini seperti sebuah roti sandwich, di mana orangtua dan anak dianggap sebagai roti lapisan atas dan lapisan bawah, sedangkan seseorang yang terjebak dalam fenomena ini diibaratkan sebagai sebuah daging atau isi dari sandwich yang terhimpit di tengah-tengah roti.
Berdasarkan pengolahan data Susenas Maret 2022, diperkirakan terdapat 8,4 juta penduduk Indonesia yang tergolong generasi sandwich dalam extended family, selanjutnya disingkat generasi sandwich EF.
Banyak faktor yang menjadi sumber melatarbelakanginya, salah satunya ialah kegagalan financial orangtua. Bukan untuk menyalahkan orangtua sepenuhnya, tetapi jika dilihat banyak orang tua disana yang menggantungkan kehidupannya kepada anaknya.
Seperti yang kita ketahui, menjadi tulang punggung tidaklah mudah. Karena membagi pikiran antara kebutuhan pribadi dan keluarga inilah yang menjadi alasan utamanya. Mungkin bagi orang yang gajinya di atas UMR akan sangat mudah menjalani fase generasi sandwich ini. Tetapi untuk yang gajinya hanya UMR atau bahkan di bawah UMR harus seperti apa?
Tuntutan seperti ini menyebabkan mental seseorang down. Mereka juga akan berpikir kalau mereka gagal menjadi seorang anak, pasangan secara bersamaan. Banyaknya yang harus mereka penuhi satu persatu dan itu membuat mereka berpikir kembali ‘apakah bisa?’ yang berujung membuat stres, kelelahan dan masalah psikologis.
Sebagai generasi sandwich, kita bisa memutus rantai ini walaupun tidak mudah yang dapat dilakukan begitu saja. Perlu konsisten agar semuanya tercapai di antaranya seperti memiliki tabungan rencana yang bisa kita isi untuk pernikahan, wisata, pendidikan. Mengurangi gaya hidup yang konsumtif juga bisa banget, loh! Kita harus bisa membedakan mana prioritas dan menentukan kebutuhan dan keinginan kita.
Walaupun berbuat baik kepada orangtua itu baik dalam Islam, tetapi jika sudah ditahap lelah kita bisa terbuka kepada orangtua untuk membahas kemampuan yang telah kita capai. Karena tidak tepat juga untuk menggantungkan kehidupannya kepada anaknya yang bekerja.
Semoga ketika telah dikomunikasikan, orangtua akan mengerti dan tidak terlalu banyak menuntut sehingga beban dan stres kita berkurang. Karena pada dasarnya kita juga mempunyai keperluan.
Penulis:
Berlin Olivia Mandela Utami
Jurusan S1 Akuntansi Universitas Pamulang
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.