TANGSELXPRESS – Rektor UIN Jakarta, Prof. Asep Saepudin Jahar MA Ph.D, dalam Seminar Nasional Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta menekankan bahwa agama harus ditempatkan sebagai dirigen kehidupan harmonis berbangsa, bukan sebagai alat politisasi kelompok kepentingan tertentu.
Berdasarkan pengalaman dari pemilu-pemilu sebelumnya, politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok politik tertentu sering terjadi, Kamis 25 Mei 2023.
“Dalam konteks Indonesia seperti yang kita alami dalam Pemilu 2014, 2019, dan yang akan datang pada 2024, terdapat kecenderungan kelompok-kelompok untuk melakukan politisasi agama. Oleh karena itu, hal ini harus menjadi perhatian utama kita,” Prof. Asep Saepudin Jahar MA Ph.D seperti dikutip Tangselxpress.com melalui www.uinjkt.ac.id.
Rektor berharap agar semua pihak dapat menahan diri dan tidak menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik tertentu dalam menghadapi pemilu 2024.
“Dalam proses demokrasi pada Pemilu 2024, agama harus terbebas dari politisasi,” tegasnya.
Rektor menjelaskan bahwa agama memiliki beberapa aspek penting, seperti institusi, kitab suci, jamaah, dan mobilisasi. Kitab suci menjadi bagian yang paling melekat dalam membangun pandangan atau keyakinan keagamaan individu maupun kelompok agama. Namun, teks suci juga sering menjadi sumber perbedaan penafsiran yang mengakibatkan polarisasi.
“Jika pemahaman agama tidak ditempatkan dengan baik, penafsiran terhadap teks-teks suci dapat menjadi penyebab fanatisme dan polarisasi,” jelasnya.
Dalam konteks literasi media dan politik, agama perlu ditempatkan sebagai pendorong kehidupan berbangsa yang harmonis, penuh kebersamaan, dan kedamaian. Agama tidak boleh digunakan sebagai alat untuk memperkuat kepercayaan atau mendukung partai atau calon tertentu sehingga menyebabkan kebencian terhadap pihak lain. Moderasi adalah kunci dalam hal ini.
Selain itu, Profesor Asep menambahkan bahwa para akademisi dan tokoh agama perlu terus melakukan kampanye positif agar masyarakat terhindar dari pemahaman yang dapat mengakibatkan polarisasi politik yang berlebihan. Agama perlu dilihat sebagai bagian penting dalam politik, tetapi bukan semata-mata sebagai alat untuk mendapatkan suara.
“Terakhir, sebagai akademisi, dalam konteks kampanye dan sosialisasi, saya berharap semua pihak dapat menyampaikan pesan dengan bahasa yang baik dan menghindari penggunaan ayat atau doktrin keagamaan untuk menentang kel ompok lain,” tegasnya.
Rektor Asep menyampaikan gagasannya dalam seminar nasional dengan tema “Literasi Media dan Politik Jelang Pemilu 2024: Mitigasi Konflik SARA dan Penguatan Partisipasi Warga.” Selain Rektor, acara tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional, termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI (Menko Polhukam) Prof. Dr. Mahfud MD.
Menurut Menko Mahfud, pembangunan dan penguatan literasi media dan politik sangat penting menjelang Pemilu 2024. Hal ini diperlukan untuk menjaga proses pemilu yang demokratis dan menghasilkan pemerintahan yang terbaik.
Menurutnya, pemilu yang demokratis harus dijaga agar menghasilkan proses politik yang sesuai dengan kehendak rakyat. Pemilu menjadi hal yang sangat penting bagi seluruh masyarakat dalam menciptakan pemerintahan yang diharapkan.
“Oleh karena itu, kita harus menjaga pemilu yang demokratis. Pemilu ini merupakan taruhan bagi masa depan bangsa kita,” tegasnya.
Dalam rangka menjaga pemilu yang demokratis dan mencegah politisasi agama, perlu adanya peran aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk akademisi dan tokoh agama. Mereka dapat melakukan kampanye positif yang membawa pesan harmoni, toleransi, dan persatuan di tengah perbedaan.
Para akademisi dan tokoh agama juga dapat terus mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya pemahaman yang benar terhadap agama. Hal ini akan membantu mengurangi polarisasi dan konflik yang disebabkan oleh penafsiran yang sempit dan ekstrem atas ajaran agama.
Dalam hal literasi media dan politik, perlu diadakan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap isu-isu politik dan pemberitaan yang berkaitan dengan agama. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat akan lebih mampu mengidentifikasi berita palsu, menghindari persepsi yang salah, dan mengambil keputusan yang lebih cerdas dalam pemilihan calon pemimpin.
Agama memiliki peran yang penting dalam kehidupan masyarakat, namun perlu diingat bahwa agama bukanlah alat untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Dalam konteks pemilu, agama harus ditempatkan sebagai sumber inspirasi untuk menciptakan harmoni, kedamaian, dan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara.
Dengan menjaga keseimbangan antara agama dan politik, kita dapat mewujudkan pemilu yang berkualitas, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan menghasilkan pemerintahan yang bertanggung jawab dan berpihak kepada kepentingan masyarakat secara menyeluruh.