TANGSELXPRESS- Mie instan merupakan makanan kesukaan banyak orang. Khususnya di Indonesia. Gaduh kabar terdapat kandungan berbahaya dalam mie instan produksi Indofood, membuat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) angkat bicara.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menanggapi temuan dan penarikan produk mie instan Indomie asal Indonesia di Taiwan. Penarikan ini dilakukan Departemen Kesehatan Taipei pasca temuan zat karsinogen atau pemicu kanker, yakni etilen oksida yang melebihi ambang batas.
Adapun varian Indomie yang ditarik di Taiwan adalah Indomie Rasa Ayam Spesial yang mengandung etilen oksida sebesar 0,187 mg/kg. Selain itu, Taiwan juga menemukan senyawa serupa pada produk mi instan asal Malaysia Ah Lai White Curry Noodles.
Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan Indonesia telah mengatur Batas Maksimal Residu (BMR) 2-CE sebesar 85 ppm melalui Keputusan Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida.
“Indonesia telah mengatur Batas Maksimal Residu (BMR) 2-CE sebesar 85 ppm melalui Keputusan Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida. Dengan demikian, kadar 2-CE yang terdeteksi pada sampel mi instan di Taiwan (0,34 ppm) masih jauh di bawah BMR 2-CE di Indonesia dan di sejumlah negara lain, seperti Amerika dan Kanada. Oleh karena itu, di Indonesia produk mi instan tersebut aman dikonsumsi, karena telah memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk sebelum beredar, ”terang BPOM dalam laman resminya, Kamis (27/4).
Dengan begitu, kadar 2-CE yang terdeteksi pada sampel mie instan di Taiwan (0,34 ppm) masih jauh di bawah BMR 2-CE di Indonesia dan di sejumlah negara lain, seperti Amerika dan Kanada. Artinya, produk Indomie yang ada di Indonesia masih aman untuk dikonsumsi.
Dalam keterangannya, BPOM menyebut organisasi standar pangan internasional belum mengatur batas maksimal residu EtO. Ini termasuk Codex Alimentarius Commission (CAC), organisasi di bawah World Health Organization/Food and Agriculture Organization (WHO/FAO) belum mengatur batas maksimal residu EtO.
“Beberapa negara pun masih mengizinkan penggunaan EtO sebagai pestisida,” lanjutnya.