TANGSELXPRESS – Siti Maimunah, itulah nama istriku. Saat ini, dia sedang mengandung anak pertama kami. Usia kandungannya sudah memasuki bulan ke delapan akhir. Jadi, saya hanya menghitung hari menunggu kelahiran anak pertama kami yang diprediksi akan lahir dengan jenis kelamin laki-laki.
Siti Maimunah dulu adalah sahabat saya. Teman bermain saya sejak kecil. Dia tinggal masih satu RT dengan saya, di kampung halaman kami di Jawa Timur sana.
Selain Siti, sebenarnya ada satu lagi sahabat saya yang bernama Andi Bule. Sayang, dia sudah meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas saat ikut balapan liar.
Pernikahan saya dengan Siti ini sungguh di luar kehendak kami. Saya tahu, Siti begitu mencintai Andi Bule. Pria tampan ini adalah segala-galanya bagi Siti. “Dia itu cinta pertama dan segalanya bagi saya,” aku Situ tentang kekasihnya itu.
Dipanggil Bule karena memang Andi punya kulit bersih dan hidung mancung. Perawakannya tinggi besar, mirip banget bule.
Siti dan Bule pacaran sejak SMP. Yaah, kami bertiga di SMP yang sama. Hanya saja, setelah lulus SMP Bule memilih sekolah di SMA swasta, sementara saya dan Siti satu sekolah di SMA negeri favorit di kota kami.
Saat di SMA itulah, watak Bule yang liar sering kali diperlihatkan kepada Siti. Meski berulang kali dilarang, Bule tetap saja ikut balapan liar melawan anak-anak dari SMA lain. Tentu saja pakai uang taruhan.
“Mas, udah stop. Jangan balapan lagi, Siti takut terjadi sesuatu yang buruk kepadamu,” kata Siti kepada Bule.
Bukannya berhenti, Bule ternyata makin merajalela. Dia sulit dikalahkan dengan Suzuki Crystal-nya yang memiliki kecepatan seperti bayangan.
Hingga suatu malam, saat itu saya sedang sendirian di rumah. Waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB. Saat itulah datang Bule dengan sepeda motor Suzuki Crystal kesayangannya.
Tak seperti biasanya, Bule saat itu terlihat murung. Wajahnya sedih banget dan terlihat begitu pucat. “Ada apa bro? Keliatannya sedih banget?,” tanyaku kepada Bule.
Sahabat saya itu tak menjawab pertanyaan saya. Dia hanya duduk di kursi teras kemudian berkata. “Minta minum dong, haus banget nih,” kata dia.
Tanpa pikir panjang, saya bergegas ke dapur untuk mengambilkan air. Namun, setibanya Kembali di teras, saya tak lagi menemukan Bule. Bahkan dia menghilang bersama motornya.
Di meja teras, saya hanya menemukan secarik kertas yang saya tahu itu tulisan Bule. “Titip dan rawat dia ya”
Begitulah tulisan di secarik kertas itu. Saya sempat bingung dengan tulisan itu. “Apa maksud Bule nulis kayak beginian” batin aku sambil melipat kembali kertas itu.
Belum sempat hilang kebingungan saya, saat itu datang Siti. Sambil menangis sesenggukan dia minta diantar ke rumah sakit.
“Mas, tolong anterin ke rumah sakit. Mas Andi meninggal kecelakaan sore tadi. Dia meninggal dunia setelah nabrak jembatan saat balapan,” tangis Siti memecah keheningan malam itu.
Malam itu juga, saya dan Siti bergegas ke rumah sakit. Setibanya di sana, betapa hancurnya hati saya melihat Andi Bule yang terbujur kaku dengan luka di kepala.
“Kejadiannya jelang Ashar, sampai sini sudah meninggal dunia,” kata petugas kamar mayat.
Mendengar penjelasan petugas dari kamar mayat rumah sakit itu hati saya terkesiap. “Lalu siapa yang datang ke rumah tadi dan meninggalkan secarik kertas itu,” batinku.
Namun saya yakin, yang datang adalah Andi Bule. Dia ingin menitipkan Siti Maimunah kepadaku.
Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, saya melamar Siti. Dan kami pun menikah sesuai pesan yang disampaikan Andi Bule kepadaku beberapa jam setelah dia meninggal dunia.
“Selamat beristirahat ya Bule, sahabat terbaik saya,” batinku.