TANGERANG SELATAN– Saat sebagian besar film lokal berlomba memikat penonton lewat visual memukau, Merah Putih: One For All justru memantik diskusi panas karena alasan sebaliknya. Kualitas animasinya yang dinilai kaku dan tak sebanding dengan ekspektasi malah menjadi bahan perbincangan luas, memecah opini publik menjadi dua kubu besar: mereka yang menghujat dan mereka yang penasaran.
Kontroversi bermula sejak trailer dan cuplikan awal film ini muncul di media sosial. Gerakan karakter yang terlihat kaku, latar visual yang dinilai generik, serta dugaan penggunaan aset 3D siap pakai langsung jadi bahan komentar warganet. Sejumlah video reaksi pun bermunculan di TikTok dan X (Twitter), sebagian bernada sarkas, sebagian lain mencoba memberi pembelaan bahwa yang penting adalah pesan yang diusung.
Namun, pada hari pertama penayangannya bertepatan dengan peringatan HUT RI ke-80, suasana di beberapa bioskop justru menunjukkan hal yang berbeda. Meski kritik membanjiri lini masa, laporan dari sejumlah jaringan bioskop menyebut kursi di beberapa jadwal penayangan terisi cukup padat, terutama di prime time.
Fenomena ini menunjukkan pola unik, penonton membeli tiket bukan semata karena yakin filmnya bagus melainkan karena ingin membuktikan sendiri seberapa akurat omongan netizen. Di media sosial, banyak yang terang-terangan mengaku datang ke bioskop untuk “menilai sendiri” atau sekadar ikut merasakan momen film yang viral ini.
“Kalau filmnya memang buruk, ya saya mau lihat seburuk apa. Kalau ternyata nggak seburuk kata orang, kan saya bisa cerita,” tulis salah satu pengguna X yang fotonya saat membeli tiket ikut viral.
Di tengah hiruk pikuk komentar warganet, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menegaskan bahwa pemerintah tidak memberikan dukungan dana atau fasilitasi promosi terhadap film ini. Pernyataan ini muncul untuk meredam spekulasi publik tentang penggunaan dana negara, mengingat isu biaya produksi yang kabarnya mencapai miliaran rupiah.
Sementara itu, sejumlah tokoh publik memberi dukungan moral, menyebut bahwa upaya membuat animasi panjang di Indonesia layak diapresiasi, meskipun eksekusinya masih jauh dari sempurna.
Pertanyaan besar kini adalah apakah fenomena “nonton karena penasaran” ini cukup untuk mempertahankan jumlah penonton di minggu-minggu berikutnya, atau justru antusiasme akan memudar setelah rasa ingin tahu terjawab?
Satu hal yang jelas, Merah Putih: One For All sudah mencatatkan diri sebagai salah satu film paling ramai dibicarakan tahun ini, entah sebagai tonggak semangat perfilman lokal, atau sebagai pelajaran penting tentang ekspektasi dan realita.(Dinda/MG2)