TANGSELXPRESS – Jelang Lebaran 2025, harga daging sapi di sejumlah pasar naik signifikan. Di Pasar Modern BSD, Kota Tangsel misalnya, harga daging sapi perkilogram sudah mencapai Rp 140 ribu.
Harga yang sama juga terjadi di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Di sana harga daging sapi berada di kisaran Rp145 ribu perkilogram. Harga lebih mahal dijumpai di Pasar Manis, Purwokerto, Jawa Tengah. Harga daging sapi mencapai Rp160 ribu.
Sedangkan harga telor, di Samarinda Kaltim perkilogramnya warga harus merogoh kocek hingga Rp34 ribu. Sedangkan di Surabaya, harga telor dilaporkan di kisaran Rp27.500.
Untuk komoditi beras, harga tertinggi tercatat di Samarinda dengan Rp14.400 per kilogram (kg). Sementara, harga terendah ada di Lampung dengan Rp13.216 per kg.
Lalu bagaimana dengan harga pangan di Malaysia?
Anda jangan kaget, di negeri jiran harga pangan ternyata jauh lebih murah dibandingkan harga di Indonesia.
Contohnya harga daging. Di Malaysia, harga daging sapi tak ada perbedaan di semua wilayah. Harga daging sapi di Tapak Medan Selera Pekan Dengkil, Kuala Lumpur adalah RM19.90 per kilogram atau Rp60 ribu.

Lalu harga telor ayam. Terjadi penurunan harga dari RM11.40 menjadi RM5.99 atau sekitar Rp18 ribu. Menurut laporan, kestabilan harga ini karena adanya subsidi dari kerajaan langsung kepada peternak.

Kemudian harga beras, ternyata di Malaysia juga lebih murah. Setiap satu karung beras dengan berat 10 kilogram, dijual dengan harga RM32 atau sekitar Rp96 ribu. Bandingkan dengan Indonesia!
Mengapa harga pangan di Malaysia bisa lebih murah?
Direktur Yayasan 1Ummah Malaysia Drs Zaidi Ahmad Embong secara eksklusif kepada Tangselxpress.com mengatakan, stabilnya harga pangan di Malaysia tak lepas dari keberhasilan pemerintahan PM Anwar Ibrahim dalam memerangi kartel oligarki dan mafia pangan di bidang komoditas dan pangan.
” Ya, pemerintah Anwar (Ibrahim) sangat fokus terhadap hal ini (harga pangan). Setelah pandemi, semua sendi sektor ekonomi hancur. Jadi, salah satu strategi paling ampuh untuk membangkitkan sumber ekonomi semua sektor dan kluster adalah dengan cara membunuh jaringan oligarki atau mafia pangan,” kata Zaidi.
Pria yang cukup lama tinggal di Indonesia itu mengatakan, selama ini harga pangan terus dikawal oleh pemerintah Malaysia lewat Kementerian Pertanian dan Kementerian Hal Ehwal Pengguna.
Kemudian, subsidi minyak seperti solar, bensin, dan sembako diteruskan kepada seluruh rakyat Malaysia dengan pengawasan yang ketat sesuai e-KTP.
“Di Malaysia, yang memiliki gaji bulanan RM3,700 atau Rp11 juta lebih dianggap masih perlu dibantu (disubsidi) oleh pemerintah. Samada, bujang, orang tua, ada 1 istri atau 4 istri atau banyak anak, bayaran dari bank negara terus ke rekening ketua keluarga,” kata Zaidi.
Soal pengawasan harga pangan, Zaidi menegaskan pemerintah Malaysia sangat fokus terhadap hal ini. Menurutnya, untuk harga beras misalnya, pedagang hanya boleh menjual dengan harga tertinggi RM32 atau Rp96 ribu.
“Boleh menjual kurang dari harga itu, tapi tidak boleh melebihi ketentuan. Jika menjual di atas harga yang ditentukan, maka akan diusut kemudian disegel, didenda dan dijebloskan ke penjara,” paparnya.
Menurutnya, dengan untuk pelanggaran perdagangan beras bersubsidi dapat dikenakan kepada perusahaan dan direkturnya.
Denda untuk perusahaan, denda untuk kesalahan pertama tidak melebihi RM250.000,- (Rp750 juta). Dan jika kembali melanggar, maka denda tidak melebihi RM500.000,- (Rp1,5 miliar).
Sedangkan untuk direkturnya, untuk kesalahan pertama tidak melebihi RM100.000,- (Rp300 juta) dan kesalahan kedua atau berikutnya tidak melebihi RM250.000,-
“Sedangkan hukuman penjara selama tempoh tidak melebihi 5 tahun. Dan untuk direktur bisa dikenakan dua duanya. Denda dan penjara. Di sini, undang-undang sangat keras, tanpa kompromi dan sangat pantas ditindaklanjuti,” tutup Zaidi.
Menurut Zaidi, kondisi ini cukup unik mengingat Malaysia merupakan salah satu negara pengimpor bahan pangan, terutama dari Malaysia. “Seharusnya harga di Indonesia bisa separuh lebih murah dibandingkan harga di Malaysia,” katanya. (*)







