Oleh: DAHLAN ISKAN
Sang Begawan Media
Berapa hasil dari kenaikan pajak penjualan 12 persen yang mulai berlaku tanggal 1 Januari depan?
“Kira-kira Rp 150 triliun.”
Yang mengatakan itu orang yang bisa dianggap ayatollah-nya perpajakan Indonesia: Hadi Purnomo.
Lima tahun Pak Pung –begitu panggilan akrabnya– menjabat dirjen pajak. Di bawah tiga presiden dan lima menteri keuangan.
Pak Pung juga termasuk orang yang sekali hidup mampu bikin sejarah: ia membuat rekor yang tak terpecahkan pun sampai sekarang. Yakni berhasil mencapai rasio pajak menjadi 13 persen dari PDB.
Itu tahun 2008.
Setelah Pak Pung diganti tidak pernah lagi angka itu dicapai. Tahun ini capaiannya masih di seputar 10,2 persen. Pun di dalam perencanaan pajak tahun depan masih di kisaran itu.
“Padahal setiap ratio itu naik satu persen hasilnya Rp 250 triliun,” ujar Pak Pung. “Kalau kembali bisa naik ke 13 persen berarti negara dapat tambahan pemasukan Rp 750 triliun,” tambahnya.
Itulah sebabnya Pak Pung bersikeras mengusulkan agar kenaikan pajak PPN dibatalkan. “Kalau rasio pajak yang dinaikkan orang yang punya uang yang disasar. Kalau PPN yang dinaikkan orang miskin pun terkena,” tegasnya.
Saya bertemu Pak Pung di kafe langganannya di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta. Yakni setelah acara Konferensi Marketing MarkPlus di The Ritz-Carlton, Rabu lalu.
Pak Pung masih sehat. Masih suka senyum. Caranya berpakaian masih rapi necis. Bicaranya runtut dan semangat.
Ikut ngobrol juga Pung yang lain: Cipung Syaifurrahman Noer. Saya tidak menyangka Pung yang lebih muda ini sudah pulang ke Indonesia. Setahu saya ia tinggal di Amerika –sejak 26 tahun lalu.
Saya pernah bertemu Cipung di Seattle. Waktu itu menjabat perwakilan PT Dirgantara Indonesia. Itu pekerjaan keduanya. Setelah lulus fakultas teknik elektro ITS, Cipung bekerja di perusahaan satelit Prancis. Lalu ke Casa di Spanyol.
Saya lebih mengenal Cipung sebagai putra gubernur Jatim yang paling asli: Moch Noer. Yang mottonya abadi sampai sekarang: Wong Cilik Iso Gumuyu –orang kecil bisa tersenyum besar.
Cipung dekat dengan Prabowo Subianto yang kini presiden Indonesia. Yakni sejak Prabowo sowan Pak Noer di rumahnya di Surabaya. Saat itu Prabowo cawapres. Capresnya Megawati Soekarnoputri.
Cipung diminta bapaknya untuk mendampingi pertemuan itu. Cipung juga mencatat Prabowo sering mengutip nasihat Pak Noer hari itu: bagaimana bisa membuat orang kecil tersenyum lebar.
Maka setiap kali Prabowo nyapres Cipung selalu terjun di Madura. “Di tiga kali Pilpres Prabowo selalu menang telak di Madura,” ujar Cipung.
Kini Cipung masuk tim ekonomi pemerintahan Prabowo. Bersama ketuanya: Prof Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia yang kini juga menjabat komisaris utama Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Cipung dan Pak Pung kelihatan akrab. Sebelum obrolan pajak dimulai saya mengajukan permohonan kecil: jangan sampai duo Pung itu bicara dalam bahasa Madura. Saya tidak terlalu paham.
Keduanya memang orang Madura. Sama-sama dari Pamekasan. Sama-sama keluarga pamong praja.
Ayah Pung kemudian dipindah menjadi Sekda di Jember. Karena itu Pung menamatkan SMA di Jember. Lalu masuk UI. Tidak lama. Pindah ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
Yang mengangkatnya menjadi dirjen pajak adalah Presiden Gus Dur. Saat itulah Pak Pung menyusun rancangan UU Pajak yang baru. Yang dibuat sangat mirip di Amerika.
Begitu sulit memperjuangkan UU Pajak itu. Setelah melewati lima menteri keuangan, tiga presiden, UU Pajak itu disahkan. Itulah UU No 28 tahun 2007.
“Kalau UU itu dijalankan secara benar, kenaikan rasio pajak melebihi 13 persen pun bisa dicapai,” ujar Pak Pung.
Di manakah bolongnya sehingga UU itu tidak bisa dijalankan seideal yang digambarkan Pak Pung?
UU-nya sendiri tidak ada bolongnya. Bolongnya itu di pelaksanaan. Ada aturan di bawah UU yang perlu diluruskan. Perlu dikembalikan seperti yang diperintahkan UU.
“Ada kata ‘dapat’ di UU menjadi ‘harus’ di aturan pelaksanaan. Sebaliknya ada kata ‘harus’ di UU menjadi ‘dapat’ di pelaksanaan,” katanya.
Yang juga penting: “any” menjadi “minimum'”. Yakni dalam hal pelaporan keuangan akhir tahun. Harusnya saldo akhir tahun berapa pun wajib dilaporkan. Di peraturan kok jadi “minimum satu miliar rupiah”.
Masih ada yang lebih penting lagi yang diucapkan Pak Pung. Tapi acara final pertandingan basket DBL se-Jakarta ini akan dimulai. Baru kali ini saya nonton basket di gedung baru yang megah: Indonesia Arena.
Ramai sekali. Gedungnya megah. Besar. Tiketnya terjual habis –padahal mahal. Panitia mengklaim penonton final tadi malam itu yang terbanyak dalam sejarah pertandingan olahraga indoor di Indonesia.
Saya suka atraksi pembukaannya. Lebih menarik daripada meneruskan artikel soal pajak ini. Pajak memang lebih penting tapi atraksi ini lebih menarik.
Untuk pajak kan masih ada hari esok. Yang penting: menaikkan tarif pajak kalah dengan menambah rasio kena pajak. Itu sama dengan pertandingan antara Rp 150 triliun lawan Rp 250 triliun.
Tanpa pertandingan pun seharusnya sudah tahu siapa yang menang. Entah bagi yang matematikanya dapat nilai tiga 30 seperti saya. (*)
Tulisan ini sudah tayang di Disway.id