TANGSELXPRESS – Pandangan Nobertus Purnomolastu selaku pengamat perpajakan dari Universitas Surabaya (Ubaya) mencerminkan keprihatinan banyak pihak terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Nobertus menilai kenaikan PPN akan mengakibatkan lonjakan harga barang dan jasa, sehingga mengurangi daya beli masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Sebagai pajak regresif, PPN membebani semua lapisan masyarakat secara merata, terlepas dari tingkat pendapatannya.
“Apabila permintaan atau demand menurun akibat kenaikan PPN menjadi 12 persen, dampaknya akan merambat ke berbagai sektor, termasuk pajak penghasilan (PPh),” kata Nobertus seperti dikutip dari beritasatu.com, Senin (25/11/2024).
Penurunan permintaan akibat daya beli yang melemah dapat berdampak negatif pada berbagai sektor ekonomi, termasuk potensi penurunan penerimaan pajak penghasilan (PPh). Hal ini menunjukkan efek domino yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi.
Nobertus menekankan pentingnya meningkatkan rasio pajak (tax ratio) daripada hanya bergantung pada kenaikan PPN. Dengan rasio pajak Indonesia yang masih rendah (sekitar 9%-10%), ia menyarankan agar pemerintah fokus pada langkah-langkah yang lebih progresif, seperti meningkatkan kepatuhan pajak dan memperluas basis pajak.
“Dari segi ekonomi, harga barang pasti naik, dan ini otomatis akan mengurangi daya beli masyarakat. PPN kita akan jadi salah satu yang paling tinggi di Asia, tetapi tax ratio-nya malah rendah,” ungkapnya
Pendekatan progresif melalui pajak penghasilan dianggap lebih adil karena mengedepankan prinsip “yang mampu membayar lebih, berkontribusi lebih.” Hal ini bisa menjadi solusi untuk memastikan keadilan dan keseimbangan dalam kebijakan perpajakan.
“Keadilan pajak seharusnya diterapkan pada pajak penghasilan. Bagi orang yang penghasilannya lebih besar, maka bayar pajaknya juga lebih besar. Bukan dengan cara menaikan PPN menjadi 12 persen,” tambahnya.







