Oleh: DAHLAN ISKAN
Sang Begawan Media
DIASPORA adalah kekayaan Indonesia. Di mana pun kekayaan itu diletakkan. Di Amerika. Di Tiongkok. Di Timur Tengah. Di mana saja: Australia, Eropa, Korea, Jepang.
Haruskah mereka pulang dengan alasan agar bisa menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk bangsa dan negara tercinta?
“Tidak harus pulang”.
“Di mana pun Anda berada tetap jadi kekayaan Indonesia”.
“Kekayaan network“.
“Nilai network bisa lebih mahal dari nikel”.
“Kita perlu punya banyak sekali network“.
“Orang yang punya banyak network kadang lebih sukses daripada orang yang pintar”.
“Orang yang punya banyak network pasti pintar. Setidaknya pintar mencari network“.
“Tiongkok berangkat membangun negeri awalnya dengan memanfaatkan network mereka di Hong Kong”.
“Jangan pulang agar Indonesia tidak kehilangan kekayaan network“.
“Untuk apa pulang kalau hanya jadi sekrup mesin di dalam negeri”.
“Jadilah mesin di luar negeri daripada jadi sekrup di dalam negeri”.
“Pulanglah setelah jadi mesin. Seperti Stella Christie itu –meski saya waswas apakah mesinnya tidak akan tabrakan dengan mesin lain yang lebih besar. Jangan pulang ketika masih sekrup”.
“Nasionalisme itu tidak sesempit selangkangan. Tidak hanya seluas Sabang-Merauke. Nasionalisme itu bisa seluas alam raya. Nasionalisme itu ada di dalam hati. Di mana pun hati itu berada”.
Anda bisa menduga siapa yang mengatakan semua itu –dalam diskusi diaspora di kantor Konsulat Jenderal Indonesia di San Francisco Selasa sore lalu.
Kang Deden (Mahmudin Nur Al-Gozaly) yang menjadi moderator. Pak Konjen Prasetyo Hadi yang membuka.
Ketika nama itu diumumkan Presiden Prabowo sebagai menteri sekretaris negara banyak ucapan selamat kepadanya. Namanya persis sama: sama-sama Prasetyo Hadi.
Ada tiga orang di ruang itu yang bekerja di Apple. Bukan kaleng-kaleng. Ada juga yang di perusahaan lain. Saya tidak tahu siapa saja yang ikut secara online.
Bersama tiga orang Indonesia yang bekerja di Apple. Paling kiri: Victor. Foto: Disway
Peserta diskusi seperti Victor setuju dengan definisi nasionalisme seperti itu. Ia orang Kalbar. SMA masih di Pontianak. Lalu kuliah computer science di Melbourne, Australia.
Ia pemberani. Berani keluar dari Apple. Bulan lalu. Ia bergabung ke perusahaan startup.
Partner Victor ingin menambah satu tenaga kerja di Amerika. Victor mengusulkan lebih baik angkat empat orang di Indonesia. Biar mereka kerja dari Indonesia.
Usul itu diterima. Kini empat orang Pontianak bekerja untuk perusahaan Amerika tersebut. Itu akan menjadi model ke depan. Bila perusahaannya terus berkembang.
“Betapa banyak pola seperti itu di India berkat banyaknya diaspora India di Amerika”. Victor yang mengatakan itu. “Dan apakah yang seperti itu tidak disebut nasionalis hanya karena ia tidak pulang”.
Juga Ari Sufiati, Bonita dari Surabaya. Tahun depan adalah ultahnyi yang ke-20 sebagai penghuni Amerika.
Dia mendirikan yayasan untuk mendatangkan mahasiswa unggul dari Indonesia untuk masa depan negara. Juga Dian, teman Ari yang di Houston, Texas.
Atau juga Marissa, alumnus SMA St Louis Surabaya yang di San Bruno itu. Dia bukan saja sebuah titik tapi juga titik yang mampu menambah satu titik lagi di MIT dan Afrika Selatan.
“Diaspora adalah titik-titik. Satu diaspora satu titik. Ada titik besar, ada titik kecil. Titik-titik itu kelak akan terhubung antar titik. Jadilah jejaring laba-laba. Titiknya sendiri mungkin kecil-kecil tetapi jejaring itu menjadi sangat lebar, lentur dan kuat”.
Biarlah Anda tidak usah tahu siapa yang kembali mengucapkannya di akhir diskusi. (*)
Artikel ini sudah tayang di Disway.id