Oleh: DAHLAN ISKAN
Sang Begawan Media
Setidaknya saya sudah ke rumah masa kecil Kamala Harris. Bahwa dia kalah dalam Pilpres Amerika kemarin toh Anda sudah bisa menerima.
Setidaknya pula saya sudah ke TPS tidak jauh dari rumah Kamala Harris itu. Pukul 16.00 di hari pemungutan suara. Masih ramai. Orang begitu telat datang untuk menjatuhkan pilihan.
TPS itu berada di dalam sekolah yang diliburkan: Malcom X Elementary School. Saya bebas masuk ke TPS itu dan ambil gambar.
Di koridor luar berjaga seorang petugas pengarah arah. Di dalam ruang TPS ada tiga petugas administrasi. Seorang ketua. Dan petugas-petugas kotak suara.
Kotak suaranya seperti koper. Bermulut. Beroda. Masih ada satu kotak lagi di situ –kotak pos. Banyak juga yang datang ke TPS hanya untuk memasukkan kertas suara ke kotak pos di situ.
Dari wajah saya, ketua TPS itu rupanya tahu kami dari Indonesia. “Selamat siang,” sapanya dalam bahasa Indonesia cedal.
Ia orang kulit putih. Brewok. Rambut agak awut-awutan. “Sudah empat hari kami bekerja,” katanya. Yang satu hari untuk menjalani latihan menjadi petugas TPS.
Seperti di Indonesia petugas TPS juga dibayar. “Bayaran kami kecil sekali. Hanya 500 dolar,” katanya. Sekitar Rp 7,5 juta.
Ternyata ia sudah keliling Indonesia: Lampung, Jambi, Palembang, Bengkulu, sampai ke Aceh dan Banjarmasin. Selama enam tahun.
Ia ditugaskan ke daerah-daerah itu untuk menangani proyek air bersih. Atas pendanaan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Di rumah Kamala Harris kami bertemu wartawati harian Los Angeles Times. Kami diwawancarai mengapa ke situ. Mel yang kami sodorkan untuk diwawancarai. Dia punya rumah tidak jauh dari rumah Kamala. Anggap saja wawancara dengan tetangga tokoh.
Mel seorang wanita Indonesia. Sudah 12 tahun di Oakland. Dia bekerja di perusahaan IT. Dia lahir di Balikpapan, di kilometer lima. Ayahnyi Bugis, ibunyi Banyuwangi. Sampai lulus madrasah Aliyah Mel masih di Balikpapan.
Dengan adanya Mel di Oakland mudah bagi kami mencari di mana rumah masa kecil Kamala. Dia mungil. Lincah. Cekatan. Anaknyi satu dari almarhum suaminyi yang orang Amerika kulit putih. Dari suami yang sekarang, bule asal Belgia, tidak punya anak.
Rumah Kamala itu kini jadi sekolah: Berkeley International Montessori School. Khusus untuk balita sebelum bisa masuk taman kanak-kanak.
Kami pun bertemu wanita kulit putih yang lewat di situ: Nina Parker. Lebih tua dari umur saya. “Saya tinggal di situ. Tiga blok dari sini,” kata Nina.
Meski bertetangga, Nina awalnya tidak tahu kalau ini rumah masa kecil Kamala. Dia baru tahu empat tahun lalu.
“Malam itu tiba-tiba ada karnaval di jalan ini. Saya pun melihatnya. Ada apa. Ternyata itu karnaval untuk kemenangan Kamala sebagai wakil presiden,” ujar Nina. Dari karnaval itulah dia baru tahu siapa pemilik rumah tersebut.
Sebenarnya saya menunggu karnaval yang lebih besar kemarin malam. Sambil menunggu karnaval itu, kami makan dulu di Yuet Lee di San Francisco.
“Harus makan di situ,” pesan cucunya Pak Iskan kepada Ari Sufiati yang jadi pimpinan rombongan kami.
Toh resto itu hanya setengah jam dari rumah Kamala.
Di tengah perjalanan kami baru tahu Yuet Lee tutup. Kami pun ke San Mateo, lebih di luar kota San Francisco. Ada hot pot di situ. Mel seorang vegetarian.
Saat makan di hot pot itulah saya baru tahu bahwa Mel sebenarnya bukan vegetarian. Dia selalu pilih makan sayuran karena pasti halalnya.
Maka kami pun minta hot pot yang kuahnya dua macam: air panas di sisi sini dan sup ayam di sisi sana –karena ayam pun di mata Mel belum tentu halal.
Ketika suaminyi yang bule Belgia itu hendak menyuap makanan, Mel menyenggol tangan suami. “Baca Bismillah dulu,” bisik Mel kepada sang suami.
Sambil makan malam itu kami melihat televisi. Ada siaran langsung hasil penghitungan suara. Kami pun tahu: tidak akan balik ke rumah Kamala malam itu. Tidak akan ada karnaval di sana.(*)
Artikel ini sudah tayang di Disway.id