Oleh: Joko Intarto
Giring kena sentil netizen lagi. Kali ini soal kualitas penulisannya dalam bahasa Indonesia yang (mohon maaf) buruk.
Giring tidak bisa menerapkan: kapan awalan “di” harus “dipisah” atau “digandeng”. Mantan vokalis band itu juga tidak bisa menggunakan kata “kami” dan “kita” secara tepat.
Selain itu, pengetahuannya tentang kata serapan dari bahasa asing juga payah. Terbukti, kata “staf” masih ditulis “staff”.
Sebagai editor naskah buku, saya menilai “kasus Giring” sebagai fenomena gunung es Kasus Giring adalah puncak gunung yang terlihat. Sementara bagian bawahnya yang jauh lebih besar justru tidak tampak.
Sebagai negara yang telah merdeka 79 tahun, kondisi tersebut memang memalukan. Apalagi, pemerintah memiliki lembaga khusus yang menangani pengembangan bahasa. Bahkan pelajaran bahasa Indonesia telah diajarkan sejak sekolah dasar.
Berikut daftar kesalahan penulisan yang paling saya temukan:
1. Penulisan “di” sebagai kata kerja pasif dan “di” sebagai kata keterangan tempat.
2. Penggunaan huruf kapital yang salah, terutama dalam penulisan kalimat menggunakan bahasa Inggris/bahasa asing.
3. Penulisan “jam” dan “pukul” yang tidak tepat.
4. Penulisan kata serapan dari kosa kata bahasa asing yang tidak tepat? Contoh: Apotik atau apotek? Atlit atau atlet? Dan lain-lain.
Dari fenomena tersebut, saya sering bertanya pada diri sendiri:
1. Apakah metode pembelajaran bahasa Indonesia di lembaga pendidikan nasional selama ini tidak tepat?
2. Bagaimana mereka bisa lulus hingga sarjana dengan kualitas penulisan bahasa Indonesia yang seperti itu?
Diindustri pers, saya mengetahui adanya “kelas bahasa” ketika menjadi wartawan “Jawa Pos” di Surabaya tahun 1991. Kelas itu dibuka khusus untuk wartawan “Jawa Pos” yang kualitas tulisannya masih kacau.
Di “Jawa Pos” pula saya mengenal “copy editor” khusus bahasa Indonesia. Copy editor bahasa itu bekerja menyempurnakan naskah para reporter yang telah diedit oleh editor.
Dengan kehadiran editor bahasa tersebut, “Jawa Pos” pada tahun 1991-1992 meluncurkan program “garansi tanpa kesalahan’. Pembaca yang menemukan salah penulisan di “Jawa Pos” saat itu mendapat hadiah gratis berlangganan koran selama sebulan.
Garansi tanpa kesalahan’ merupakan bentuk komitmen “Jawa Pos” terhadap peningkatan kualitas berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Koran (media cetak) adalah salah satu referensi masyarakat dalam penulisan bahasa.
Bahasa merupakan produk kebudayaan. Maka, sebagai wakil menteri kebudayaan, Giring tidak boleh asal tulis tanpa mengindahkan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Karena itu, netizen tersebut menyarankan agar Giring menyewa jasa copywriter untuk menulis atau mengedit naskahny sebelum diunggah ke media sosial.
Saran tersebut, menurut saya, sangat baik. Walau bukan pendukung PSI, saya bersedia kalau Pak Giring berminat merekrut copywriter. Bagaimana Pak? (jto)