TANGSELXPRESS – Juminten sama sekali tak menyangka, jika Wartoyo yang baru saja dia temui bukanlah anaknya yang sebenarnya. Wartoyo yang baru saja dia temui adalah sosok makhluk halus yang menyerupai anak semata wayangnya.
“Sebenarnya, Wartoyo sudah meninggal sebelum menemui saya,” cerita Juminten kepada tim mistis Tangselxpress.com.
Pedih yang dialami Juminten terjadi belasan tahun lalu. Wartoyo yang saat itu duduk di bangkus SMA kelas 1 berpamitan kepada dirinya. Wartoyo mengatakan, ingin jalan-jalan ke pantai selatan bersama teman-teman SMA nya.
“Saat itu, saya tak punya firasat apapun tentang anak saya. Makanya saya izinkan dia pergi bersama teman-temannya,” kata Juminten
Juminten masih ingat betul, saat itu hari Minggu pagi pukul 07.15 WIB. Wartoyo dijemput oleh tiga temannya mengendarai sepeda motor. Mereka adalah Joni, Suprapto, dan Siti.
“Itulah momen terakhir saya melihat Wartoyo pergi selamanya,” terang Juminten sedih.
Menurut Juminten, Wartoyo tumbuh tanpa belaian kasih sayang seorang ayah. Bagus, sang ayah pergi meninggalkan Juminten yang saat itu hamil tua.
Sejak lahir, Wartoyo tak pernah melihat Bagus, sang bapak.
“Dia itu laki-laki brengsek. Katanya pergi ke Jakarta untuk mencari nafkah, tapi sampai saat ini dia tak pernah kembali,” terang Juminten.
Wartoyo pun tumbuh dengan hidup yang keras. Sifatnya yang meras membuat dia menjadi anak yang pemberontak.
Meski masih berstatus siswa, Wartoyo kerap berbuat kriminal. Mabuk di jalanan, dan tawuran menjadi kebiasaan Wartoyo.
“Saya sering dipanggil ke sekolah dan kantor polisi. Tapi anak saya itu tak pernah berubah. Dia sakit hati karena ditinggal pergi ayahnya,” kata Juminten, yang masih terlihat ayu di usianya yang menginjak 65 tahun.
Hingga akhirnya, Wartoyo pamit pergi ke pantai selatan itu. Konon, di pantai itu Wartoyo hilang ditelan ganasnya ombak pantai selatan.
Minggu ba’da Maghrib, saat itu Juminten dikejutkan kedatangan Wartoyo.
“Tok….tok….tok” suara pintu depan diketuk dari luar.
Juminten sempat heran melihat Wartoyo yang saat itu terlihat murung. Wajahnya pucat, bibirnya membiru, dan sorot matanya kosong.
Melihat Juminten, saat itu Wartoyo langsung menangis sejadi-jadinya.
“Mbook, aku minta maaf ya. Selama ini telah menyusahkanmu. Membuatmu malu di depan banyak orang,” kata Wartoyo kepada sang ibu.
Juminten yang melihat keanehan sang anak, hanya bisa mengelus kepala Wartoyo.
‘Wis gak opo opo nak (Sudah gak apa apa nak),” balas Juminten.
Setelah puas menangis di pangkuan sang ibu, Wartoyo pamit masuk kamar. “Aku capek buk, pengen tidur,” kata Wartoyo sambil berlalu.
“Kamu gak makan dulu War?,” tanya Juminten.
Pertanyaan Juminten itu tak dijawab Wartoyo. Pemuda berkulit gelap itu masuk kamar dan mengunci pintu.
Hari berlalu, Senin siang Wartoyo belum juga keluar kamar. Juminten sempat mengetuk pintu kamar Wartoyo berulang kali. Tapi sang anak tak kunjung keluar.
“Mungkin dia kecapean setelah bepergian ke laut selatan,” batin Juminten.
Hingga akhirnya, Juminten dikejutkan kedatangan pak polisi beserta perangkat desa di sana.
“Nopo leres niki daleme bu Juminten (Apa benar ini rumah bu Juminten)?,” tanya Pak Polisi.
“Inggih Pak, wonten menopo (Benar pak, ada apa)?,” tanya Juminten penuh tanda tanya.
“Begini bu, saya dapat kabar kalau Wartoyo kemarin siang tenggelam di laut selatan. Kami sudah berusaha mencarinya, namun sampai siang ini belum menemukan jenazahnya,” kata Pak Polisi.
Bak disambar petir di siang bolong, Juminten kaget setengah mati. Dia yakin polisi di depannya salah informasi. Apalagi, malam tadi Wartoyo pulang dan saat ini masih tidur di kamarnya.
“Wartoyo anak saya ada di kamar pak. Semalam dia pulang,” kata Juminten.
Mendengar yang disampaikan Juminten, polisi dan perangkat desa yang datang ke rumah itu sontak terkejut. Mereka pun berusaha memeriksa kamar di mana Wartoyo sedang tidur.
Sempat berulang kali diketuk, pintu kamar itu tak juga terbuka. Mereka kemudian memutuskan untuk membuka paksa pintu kamar Wartoyo.
Betapa terkejutnya, ternyata kamar itu kosong. Tak ada Wartoyo di dalam kamar itu. Yang tersisa hanyalah aroma bunga melati yang cukup menyengat.
“Saya tidak tahu siapa yang datang malam itu. Namun saya yakin, dia adalah anak saya yang datang untuk meminta maaf kepada saya,” kata Juminten.
Yang bikin sedih, setelah sekian tahun berlalu, jenazah Wartoyo belum juga ditemukan. Laut kidul ternyata sangat mencintai Wartoyo hingga enggan memulangkannya.
“Saya yakin, suatu hari akan menemui anak saya,” kata Juminten.