SAYA pilih menu empal gentong. Enak sekali. Sampai tambah satu mangkuk lagi.
Saya tidak malu dengan Mbak Yenny Wahid di kanan saya. Juga pada Fadel Muhammad di kiri saya.
Ruang makan di gedung MPR Senayan itu tidak penuh. Saya bisa pindah-pindah meja. Dari meja empal gentong ke meja Mbak Yenny.
Tokoh-tokoh lain pilih langsung pulang. Acara penyerahan putusan MPR ke keluarga Presiden Abdurrahman Wahid memang sudah selesai. Tinggal makan-makan.
Saya perlu makan agak lama agar mendapat bahan tulisan ini lebih lengkap.
Saya pun bisa bertanya ke Mbak Yenny: soal justru Partai Kebangkitan Bangsa yang usul agar Tap MPR yang berisi pelengseran Gus Dur dicabut.
“Memang bagi kami itu ganjalan besar sih. Kelak bisa dikapitalisasi PKB di akar rumput,” ujar Mbak Yenny. “Padahal masalah kami dengan PKB belum selesai,” tambahnyi.
Saya juga lama tidak bertemu Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Saya sengaja pilih satu lift dengan mantan ketua umum Partai Keadilan Sejahtera itu.
Dari cerita Nur Wahid saya baru tahu bagaimana asal-usul pencabutan tiga Tap MPR sekarang ini.
Awalnya pimpinan MPR menerima surat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Itu sekitar dua minggu sebelum Laoly diganti. Isinya: minta Tap MPR yang menyatakan Presiden Bung Karno terlibat G30S/PKI dicabut.
Dari situlah lantas Golkar dapat ide untuk juga mengirim surat ke pimpinan MPR: agar Tap MPR yang berisi Presiden Soeharto terlibat korupsi dan KKN ikut dicabut.
Lalu PKB juga kirim surat serupa. Isinya: agar Tap MPR yang berisi Presiden Gus Dur melanggar konstitusi dicabut.
Pimpinan MPR pun berunding. Rapat dipimpin Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Saat itulah Wakil Ketua MPR asal PDI-Perjuangan Ahmad Basarah usul: bagaimana kalau ia melapor dulu ke Megawati Soekarnoputri. Ia akan membicarakan surat Yasonna itu ke ketua umum PDI-Perjuangan lebih dulu.
Fadel Muhammad, wakil ketua MPR asal Dewan Perwakilan Daerah bercerita: tiga hari kemudian Ahmad Basarah menghubungi para pimpinan MPR lainnya. Megawati mendukung surat Yasonna itu. Berarti permintaan pemerintah lewat Yasonna itu bisa ditindaklanjuti.
Golkar melihat pintu langit terbuka: untuk juga menebengkan nasib Presiden Soeharto.
Sekalian diangkut dalam satu jet yang sama. Pun PKB. Untuk Gus Dur. “Nyatanya hanya PKB yang mengusulkannya secara resmi,” ujar Nur Wahid.
Saya dianggap sahabat Gus Dur yang oleh keluarga diminta ikut hadir. Ada sahabat lain: mantan cawapres Mahfud MD. Ada mantan menlu Alwi Shihab. Ada mantan menristek Muhammad AS Hikam. Ruangan Nusantara IV penuh.
Keluarga Gus Dur lengkap: Sinta Nuriyah, istri Gus Dur. Mbak Yenny disertai tiga adik perempuannyi. Menantu. Cucu. Salah satu cucu wanita Gus Dur pandai menyanyi. Kelas 1 SMP. Sudah pula menciptakan lagu.
Ketua MPR menyerahkan putusan itu langsung ke Sinta Nuriyah yang duduk di kursi roda. Keempat putri mendampingi sang ibu.
Banyak yang memuji pidato Bu Sinta Nuriyah. Padat. Berisi. Peristiwa pelengseran Gus Dur dulu itu, kata Bu Sinta Nuriyah, tidak lain adalah kudeta parlementer.
“Padahal kita menganut sistem presidensial,” katanyi. “Jangan ada lagi kejadian seperti itu,” tambah beliau.
Pencabutan Tap MPR tersebut, kata beliau, harus diikuti tindakan nyata dengan penarikan buku-buku pelajaran tentang itu. “Agar tidak ada lagi anggapan bahwa Gus Dur itu pelanggar konstitusi,” katanyi.
Apalagi ada juga anggapan Gus Dur itu melakukan korupsi. Padahal semua orang tahu Gus Dur hidup begitu sederhana, tidak pernah menumpuk harta.
Di ruang yang sama acara serupa dilakukan dengan keluarga Pak Harto. Sehari sebelumnya. Juga dengan keluarga Bung Karno sebelumnya lagi.
Menurut Fadel Muhammad, pimpinan MPR sebenarnya akan ke rumah Bu Mega. Menyerahkan dokumen pencabutan itu. Tapi, kata Fadel, Bu Mega minta diacarakan di gedung MPR saja.
Saat itu, yang berpidato mewakili keluarga Bung Karno adalah Guntur Soekarnoputra. Anak sulung. Bukan Megawati yang mewarisi darah politik Bung Karno.
Pidato Guntur juga tegas. Bung Karno itu dikudeta. Acara juga diakhiri dengan makan siang. Fadel satu meja dengan Bu Mega, Guntur, Bambang Soesatyo, dan Ahmad Muzani.
Nama yang terakhir itu adalah wakil ketua MPR asal Gerindra. Ia salah satu orang terdekat presiden terpilih Prabowo Subianto di bidang politik –di samping Sufmi Dasco Ahmad.
“Ia itu kini jadi kiblat,” ujar salah satu politisi ketika melihat saya akan menyalami Muzani. “Kiblat baru,” jawab saya sambil menyodorkan tangan padanya. Tentu saya kenal Muzani.
Meja makan hari itu, kata Fadel, menjadi meja komunikasi antara Bu Mega dengan Muzani. Artinya: antara PDI-Perjuangan dengan Prabowo Subiyanto. Mega, kata Fadel, banyak memberi saran agar Muzani menyampaikannya ke Prabowo. Komunikasi pun terjalin. Kita akan lihat apakah komunikasi meja makan itu akan berlanjut ke susunan kabinet.
Waktu acara serupa dengan keluarga Pak Harto, yang berpidato mewakili keluarga adalah putri sulung: Mbak Tutut. Juga pakai teks. Baru sepertiga terbaca Mbak Tutut sesenggukan. Menahan tangis. Tidak mampu lagi berpidato.
Sambil menahan tangis mbak Tutut memanggil adiknyi: Mbak Titiek, yang dulu istri Prabowo.
Awalnya Titiek tetap di tempat duduk. Setelah Mbak Tutut memanggilnyi lagi sampai tiga kali Titiek berdiri. Menuju podium.
Mbak Tutut tetap di podium. Sedikit bergeser. Teks pidato tetap dia pegang. Titiek meneruskan pidato itu tanpa teks.
Titiek, kata Fadel, kelihatan sangat cantik dan bercahaya. “Seperti menemukan cinta baru?” tanya saya mencari deskripsi.
Tiga presiden sudah direhabilitasi nama baik mereka. Bung Karno dalam kaitan dengan politik, Pak Harto dalam kaitan KKN, dan Gus Dur soal konstitusi.
Tujuan utamanya, seperti kata Bambang Soesatyo, agar terjadi rekonsiliasi nasional.
“Berarti Bu Mega juga sudah bisa rekonsiliasi dengan Pak SBY?” tanya saya.
“Kan sudah,” ujar Fadel. “Anak Bu Mega sudah sering bertemu anak Pak SBY,” tambahnya.
Rekonsiliasi memang sering pelan-pelan. Pun antara suami istri. Apalagi ini tingkat negara. Negara kadang dianggap seperti keluarga.(Dahlan Iskan)
Artikel ini sudah tayang di Disway.id