TANGSELXPRESS – Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menyoroti tren kenaikan kasus perundungan yang semakin marak di berbagai jenjang pendidikan, termasuk di SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi, khususnya di program kedokteran spesialis. Ia menilai bahwa salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah kegagalan sekolah dalam melakukan tindakan preventif dan mendeteksi dini potensi terjadinya perundungan.
Huda menekankan bahwa banyak kasus perundungan di sekolah terjadi secara berkelompok, yang seharusnya memudahkan institusi pendidikan untuk mengenali pola dan motifnya. Menurutnya, sekolah perlu lebih proaktif dalam mengidentifikasi dan mengatasi dinamika sosial yang bisa memicu perilaku perundungan, serta memperkuat pengawasan dan intervensi di lingkungan sekolah.
Isu perundungan ini memerlukan perhatian serius, terutama karena dampaknya yang merugikan terhadap kesehatan mental dan perkembangan siswa. Selain itu, Huda juga menyoroti pentingnya kerja sama antara pihak sekolah, orang tua, dan pemerintah untuk mencegah dan menindaklanjuti kasus-kasus perundungan secara tepat.
“Tindakan preventif, tindakan pencegahan dini di lingkungan sekolah menurut saya gagal. Karena model bullying (perundungan) ini sebenarnya berkelompok bukan pribadi-pribadi atau per orang. Kalau tindakan ini orang per orang, dia susah untuk dideteksi. Tapi karena ini dilakukan secara bersama-sama sebenarnya kalau deteksi dini sekolah itu canggih, berkelanjutan, serius, dilakukan pengawasan secara terus-menerus, menurut saya tidak akan kebobolan,” ujarnya dalam keterangan yang diterima, Selasa (24/9/2024).
Tak hanya sekolah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan jajaran dan dinas pendidikan juga belum baik dalam melakukan upaya yang terstruktur, sistematis dan masif dalam mencegah perundungan. Penanggulangan perundungan saat ini masih bersifat parsial dan sporadis, bahkan seringnya ‘no viral no justice’.
“Jadi kalau nggak viral, enggak ditangani. Kalau nggak viral, sekolah nggak tahu kalau sedang ada masalah. Itu yang saya sebut kenapa tindakan sistemik, masif, dan terstruktur itu tidak diselenggarakan dengan baik. Dan bahkan hipotesa saya kalau kejadian itu tidak viral, itu tindakan perundungan dianggap sesuatu yang sepele dan biasa-biasa saja. Menjadi penting ketika sudah viral, menjadi tidak penting ketika tidak viral,” terangnya.
Untuk itu, perlu kesadaran dan menjadi PR bersama ke depan untuk segera memberantas tindakan perundungan di lingkungan pendidikan. Karena cermin transformasi pendidikan saat ini sedang dipertaruhkan. Belum lagi tindakan perundungan ini juga sangat buruk karena dapat menghilangkan nyawa dan membuat trauma berkepanjangan.
Diketahui, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per Maret 2024 telah menerima laporan bullying sebanyak 141 laporan dan ada 46 kasus bullying yang membuat 46 korban kehilangan nyawa. Serta korban bullying juga rata-rata menimpa anak usia remaja yang kemudian mengalami trauma berkepanjangan, stress tinggi.
“Ketika anak mengalami trauma berkepanjangan resikonya adalah, ketika dia pulih berpotensi untuk berbuat yang sama terhadap sesamanya di waktu tertentu. Itu yang resiko panjang, artinya tindakan perundungan ini bisa beranak pinak, bisa menciptakan spiral bullying kembali ketika para korban ini mengalami trauma panjang dan ada semacam perilaku yang akhirnya dilakukan dia sendiri dan akhirnya tertimpa pada pihak lain,” tambah Politisi Fraksi PKB itu.