Oleh Musni Umar, Sosiolog
Tadi malam saya bertemu kader muda PKS menjelang bersilaturahmi dengan Sekjen PKS. Dia mengatakan kepada saya, 10 Tahun PKS Beroposisi Hanya Dapat Nama Baik: Hasilnya Apa?
Suara kader muda PKS tersebut, saya duga banyak yang berpikiran dan berpendapat seperti itu, karena menjadi oposisi di Indonesia dapat nama baik di publik, tapi dalam pemilu tidak dapat insentif dari rakyat dengan memilih partai politik yang Beroposisi
Dalam realitas, partai yang menjadi bagian dari kekuasaan, jarang menyuarakan aspirasi rakyat, dalam pemilu para kadernya banyak yang dipilih oleh rakyat.
Sebaliknya PKS yang berdarah-darah memperjuangkan aspirasi rakyat selama 10 tahun, tidak dipilih mayoritas rakyat dalam pemilu.
Bergabung ke Pemerintah
Dalam teori demokrasi, sejatinya partai pengusung dan calon presiden yang kalah dalam pemilihan presiden, berada di luar kekuasaan.
Akan tetapi dalam realitas politik, partai politik dan calon presiden yang kalah dalam pemilihan presiden diajak masuk ke dalam pemerintahan.
Partai-partai politik yang mengusung calon presiden dan kalah dalam pemilihan presiden, ada yang langsung menyatakan mendukung presiden terpilih dan ada pula yang siap diajak bergabung dengan pemerintahan.
Manfaat & Dampak Negatif
Manfaat menjadi bagian pemerintahan antara lain: Pertama, mendapat jatah menteri, duta besar dan Komisaris BUMN. Kedua, tidak diganggu bisnisnya dan aktivitas para pimpinan partai politik.
Ketiga, dapat bagian Ketua, Wakil Ketua dan pimpinan badan di DPR dan MPR RI. Keempat, bisa menghimpun dana untuk persiapan menghadapi pemilu berikutnya
Sebaliknya kalau berada di luar kekuasaan, populer dan dialu-alukan publik, tetapi kering dan harus ikat pinggang.
Oleh karena itu, kalau tidak terpaksa pimpinan partai politik lebih memilih menjadi bagian dari kekuasaan.
Dampak negatif mayoritas partai politik menjadi bagian dari kekuasaan, demokrasi runtuh, korupsi merajalela, kesejahteraan rakyat diabaikan.
Anies Posisi Sulit
Realitas sosial, rakyat yang masih banyak hidupnya susah, miskin dan kurang pendidikan, sangat pragmatis.
Mereka tidak bisa disalahkan. Sejatinya mereka yang berkuasa, memajukan kesejahteraan rakyat. Sementara ulama, cendekiawan, tokoh masyarakat di semua tingkatan terus-menerus menyadarkan dan mencerahkan rakyat agar dalam pemilu, tidak menjual suaranya demi sembako dan bantuan langsung tunai (BLT).
Faktanya gagal dilaksanakan, sehingga penguasa dan pemilik modal memanfaatkan rakyat yang belum tercerahkan dan tersadarkan dengan politik uang dan politik sembako.
Berpijak dari situasi sosial dan politik, pimpinan partai politik juga bersikap pragmatis. Mereka berpikir, mana yang lebih menguntungkan dalam Pilkada untuk masa depan partai pada pemilu 2029.
Walaupun begitu, peluang Anies dalam pilkada Jakarta untuk kembali di calonkan sebagai calon gubernur Jakarta 2024 tetap ada, karena besarnya desakan publik dan tingginya elektabilitas, tetapi sikap pragmatisme publik dan partai politik bisa meneduhkan harapan.