Oleh: Legisan Samtafsir
Judul itu terlalu tendensius membela PKS ? Tidak. Ini ingin mendudukkan yang pas antara idealisme publik dengan pragmatisme politik. Juga harus menjawab, apakah Anies tersandera, dan PKS sudah lebih pragmatis?.
Alasannya? Pertama, Anies bukan PKS. Ia bukan kader partai oren tersebut. Massa pemilih Anies juga bukan hanya kader dan simpatisan partai yang dipresideni Syaikhu itu. Anies adalah milik warga Jakarta, bahkan Indonesia. Rekam jejaknya memajukan semua penduduk, baik yang mukim maupun yang hanya meramaikan Jakarta siang dan malam.
Jadi Anies tidak identik PKS, tapi ikon Jakarta. Ia simbol pemimpin muda terdidik, yang egaliter, progressif, idealis, plural, nasionalis, berkemajuan dan menjadi dambaan semua generasi, dan harapan rakyat sebagai warga negara. Rekam jejak Anies, ya itu. Karenanya tidak bisa Anies diidentikkan dengan PKS dalam penentuan Cagub Jakarta.
Penjelasan seperti itu penting, agar jangan sampai bahwa apabila PKS mendukung Anies, itu karena Anies satu kolam dengan PKS. PKS mendukung Anies karena kredibilitas Anies. Dia pemimpin yang bisa memajukan Jakarta dan Indonesia; nasionalismenya sangat kental, tata kelola pemerintahannya comply dengan regulasi dan perjuangannya melayani kepentingan publik. Kolaborasinya melibatkan semua. Jadi PKS mengusung Anies itu idealisme kenegarawanan. Meski bukan kadernya, tapi PKS mendahulukan kepentingan negara (publik).
Kedua, PKS partai pemenang di Jakarta. Perolehan suaranya terbanyak, yaitu 1.012.028 atau 16,68 persen. Meskipun itu belum mencukupi untuk sendirian mengusung sendirian calon Gubernur (kurang 4 kursi), tapi PKS bisa mengibarkan bendera koalisi dengan gagah, dengan nama misalnya, Koalisi untuk Jakarta Gemilang, worthied sekali. Tapi ini artinya pertaruhan kredibilitas PKS untuk bisa memimpin koalisi partai, mampu tidak. Karena, sebagai leader koalisi, PKS mesti mampu membangun komunikasi dan kompromi yang super intensif dengan semua koalisinya.
Artinya, hak PKS untuk meminta kepada koalisi pengusung Anies, agar Cawagubnya adalah kader PKS, wajar. Dengan kata lain, karena Cagubnya berasal dari warga milik semua, yaitu Anies, maka sudah seharusnya Cawagubnya adalah dari PKS. Itu wujud dari haknya sebagai partai pemenang. Seharusnya itu dikibarkan terus oleh PKS, dan partai lain seharusnya pun dengan lega menerimanya.
Anies Nyari Apa, PKS Mau ke Mana?
Seharusnya, Anies dan PKS bersatu mengibarkan bendera koalisi dengan gagah. Bukan sebaliknya, saling menunggu yang tidak pasti. “Mengharap hujan dari langit, air di tempayan dicurahkan”. PKS menunggu komitmen Anies, sedangkan Anies menunggu dukungan dari yang tak pasti. Saling menyalahkan karena sempitnya waktu dan kesibukan yang tinggi, sebagai alasan renggangnya hubungan, sama sekali tidak masuk akal.
Sebagai leader yang diharapkan rakyat, Anies tidak boleh menyandera dirinya pada pragmatisme partai. Idealisme publik, itu yang utama. Anies harus berdiri di atas idealisme publik itu. Itu kepentingan rakyat. Pegang PKS, kibarkan bendera dan yakinkan partai yang akan koalisi. Insya Allah, seluruh warga Jakarta akan aman mendukung.
Sekarang, jika benar sudah final PKS meninggalkan Anies, PKS mau ke mana? Ke KIM Plus? Apakah ini tidak berarti akan mengulang kasus Demokrat yang meninggalkan koalisi Anies dan mengejar koalisi pemerintah?
Sebelum ini, pragmatisme PKS adalah di antara yang paling tipis, dan idealismenya di antara yang paling tebal. Itu yang dikenal publik. Ideologi PKS jelas keadilan dan kebenaran. Apakah di KIM Plus ada keadilan dan kebenaran? Untuk ini berkaca saja dengan uraian Tempo edisi khusus 28 Juli 2024.
Artinya, jika PKS merasa letih memegang teguh idealisme publik, dan lalu melipir ke KIM, sepertinya harus ada pembenaran baru yang di luar terminologi keadilan dan kebenaran. Wallahu a’lam bisshawwab.