TANGSELXPRESS – Pada penutupan perdagangan Kamis (20/6/2024), rupiah melemah 65 poin (0,4%) mencapai Rp 16.430 per dolar AS.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan sejumlah faktor yang memengaruhi nilai tukar rupiah melemah dalam rapat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Istana Kepresidenan Jakarta pada Kamis (20/6/2026).
Perry meyakini secara fundamental rupiah masih bagus. Pelemahaan yang terjadi akhir-akhir ini lebih karena sentimen. “Fundamental ke depan rupiah akan menguat. Hanya gerak bulan ke bulan tergantung sentimen-sentimen ini, tetapi trennya rupiah itu akan menguat,” kata Perry seperti dikutip beritasatu.com.
Perry menjelaskan perkembangan nilai tukar selalu dipengaruhi faktor fundamental dan sentimen jangka pendek. Secara fundamental, Perry menilai nilai tukar rupiah akan menguat.
“Fundamental yang memengaruhi penguatan rupiah adalah inflasi lebih rendah, yang terakhir kemarin 2,8%. Pertumbuhan (ekonomi) kita juga tinggi 5,1%. Kredit juga bertambah 12%. Demikian juga kondisi-kondisi ekonomi kita, termasuk imbal hasil investasi Indonesia yang baik,” jelasnya.
Sementara sentimen jangka pendek yang berdampak negatif pada rupiah, yaitu pada Mei 2024 terjadi ketegangan geopolitik di Timur Tengah, dan batalnya Fed Fund Rate turun tiga kali.
Saat itu, lanjut Perry, Bank Indonesia mengintervensi dan menaikkan suku bungsa. Hasilnya, nilai rupiah menguat dari Rp 16.600 menjadi Rp 15.900.
“Itu menunjukkan rupiah menguat begitu sentimen-sentimen jangka pendek berakhir. Rupiah yang sudah menguat Rp 15.900, sekarang melemah lagi. Faktor globalnya masih Fed Fund Rate, ini masih tebak-tebakan sampai akhir tahun, mau turun berapa kali. Perkiraan kami sekali, hanya akhir tahun saja,” jelas dia.
Selain itu, sentimen global yang berdampak pada pelemahan rupiah adalah Bank Sentral Eropa (ECB) yang mulai menurunkan suku bunga.
Sementara itu, sentimen dalam negeri yang memengaruhi rupiah, yakni pada triwulan II khususnya Juni 2024, terjadi kenaikan permintaan dari corporate. “Biasanya triwulan II itu koorporasi perlu repatriasi dividen. Perlu juga membayar utang. Namun, biasanya nanti di triwulan III sudah enggak ada lagi,” kata Perry.
Selain itu, faktor lainnya adalah terkait persepsi sustainabilitas fiskal ke depan. Hal ini dinilai menciptakan sentimen-sentimen yang menjadi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.