SEJATINYA, Pemilu adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat yang bernafaskan “Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat”. Dan aksioma “Vox Populi, Vox Dei–Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” menjadi benar adanya untuk menggambarkan proses Pemilihan Umum (Pemilu) langsung, baik Presiden dan Wakil Presiden, wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD Provinsi, Kota/Kabupaten maupun Kepala Daerah (Pilkada).
Sedangkan politik banyak diterjemahkan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Seperti ideologi, partai politik, visi misi, nilai-nilai perjuangan, tim sukses, strategi dan taktik, serta bagaimana Machtsvorming atau membangun, menggalang dan membentuk kekuatan (kekuasaan), untuk mewujudkan cita-cita politik.
Lantas, bagaimana dengan kondisi politik kekinian Indonesia yang baru saja menggelar “pesta demokrasi” Pemilu 2024 pada 14 Februari kemarin? Apakah sudah sesuai dengan hakekat sebuah Pemilu yang Luber (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia), Jujur dan Adil? Apakah juga sudah sesuai dengan amanat dan cita-cita proklamasi para pendiri bangsa, yakni Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur?
Sepertinya, “Jauh Panggang dari Api”. Semua nilai-nilai substansi, ideologis bahkan filosofis berbangsa dan bernegara, yang seharusnya bisa diwujudkan melalui Pemilu 2024 mengalami anomali yang luar biasa. Karena faktanya ditemukan beragam pelanggaran Pemilu. Dan pada puncaknya, sebelum, saat dan pasca pencoblosan diwarnai banyak kecurangan yang multidimensi sehingga mengarah Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).
Mulai dari serangan fajar bagi-bagi sembako dan uang dalam jumlah besar, ditolaknya warga untuk memilih di TPS dengan berbagai alasan, surat suara yang sudah dicoblos secara massal hampir di semua wilayah, banyaknya petugas KPPS yang “masuk angin” karena telah berpihak, penghitungan suara cepat (quick count) yang dipaksakan di sejumlah stasiun TV, laporan Sirekap KPU yang salah data dan penuh manipulasi, serta penggelembungan hasil suara, dan banyak lagi yang lainnya.
Anehnya, semua temuan pelanggaran dan kecurangan tersebut mengarah kepada bagaimana memenangkan Pasangan Calon (Paslon) nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dan saat ini, semua temuan tersebut dengan mudah bisa ditemukan di era digitalisasi seperti sekarang.
Dari fenomena Kecurangan Pemilu 2024 tersebut, banyak kerusakan yang ditimbulkan sehingga butuh waktu lama untuk memperbaikinya kembali. Yang pertama adalah rusaknya mentalitas aparatur negara yang terlibat atau dilibatkan, untuk memenangkan Paslon nomor urut 02. Dan inilah yang disebut terstruktur dan sistematis.
Diduga kuat, terhitung mulai dari menteri dan jajarannya, kepala badan dan lembaga negara, kepala daerah–gubernur, walikota/bupati, camat, lurah/kepala desa, RW, RT, KPU dan Bawaslu berikut jajarannya di KPPS dan Panwacam, hingga oknum aparat keamanan. Dari mereka memang banyak yang sudah menjadi circle atas Gerakan Manipulasi Kecurangan Pemilu 2024.
Tapi tidak sedikit juga yang terpaksa melakukannya karena adanya tekanan dan intimidasi dengan berbagai ancaman. Seperti, jika tidak mau terlibat dalam gerakan kecurangan tersebut, anggaran untuk wilayahnya akan ditarik atau dihentikan. Bahkan, sampai ada yang akan dikasuskan dengan cara mencari-cari kesalahan agar terbentur hukum baik kasus pidana maupun korupsi. Sebaliknya, jika yang mau terlibat diiming-imingi sejumlah tawaran menggiurkan. Sungguh rezim yang menyesatkan.
Kerusakan kedua yang ditimbulkan sudah pasti menyerang langsung masyarakat. Dan di sinilah yang disebut dengan massif. Ada tiga kelompok masyarakat di Pemilu 2024, yakni mereka yang terlibat dalam manipulasi dan kecurangan; masyarakat yang mendapatkan hak pilihnya tapi menolak kecurangan; dan masyarakat yang terintimidasi secara politik karena tidak mendapatkan hak kewarganegaraannya sebagai pemilih di Pemilu 2024.
Untuk kelompok pertama, masyarakat yang terlibat dalam manipulasi dan kecurangan, entah atas sebuah kesadaran karena pilihannya, adanya tekanan dari level di atasnya atau sekadar ikut-ikutan karena iming-iming uang, semuanya akan mengalami kerusakan mental yang begitu dahsyat. Karena mereka sudah tidak bisa membedakan mana yang baik dan jahat.
Dan mentalnya sudah terbentuk akan terbiasa dengan tindakan kecurangan dan manipulatif dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanapun, memanipulasi Pemilu adalah sebuah kejahatan besar. Ketika mereka nekat merampas “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”, seketika itu pula dia tinggal menunggu waktu mendapatkan azab luar biasa dari Tuhan.
Tak bisa dipungkiri, semua pelanggaran dan kecurangan Pemilu 2024 ini merupakan imbas dari sejumlah pengkhianatan yang dilakukan Joko Widodo (Jokowi). Baik sebagai presiden maupun individu yang haus kekuasaan dengan mendorong anaknya, Gibran, sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) meskipun harus menabrak aturan di Mahkamah Konstitusi (MK). Di sinilah Jokowi layak disebut sebagai Pengkhianat Konstitusi.
Selain itu, Jokowi juga sudah melanggar sumpahnya saat dilantik sebagai presiden. “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Dengan memaksakan Gibran menjadi Cawapres melalui keputusan MK, apakah Jokowi sudah menjalankan sumpahnya untuk, “memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya”? Jawabannya, yang dilakukan Jokowi jelas tidak baik dan tidak adil. Begitupun terkait Pemilu 2024, dia menjalankan amanat sebagai presiden dengan tidak baik dan tidak adil karena sudah berpihak.
Berikutnya, “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.” Di poin ini jelas Jokowi tidak menjalankan undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Faktanya, dia sudah membelokkan undang-undang dan peraturannya dengan mengubah klausul untuk kepentingan keluarganya demi meloloskan Gibran terkait batas usia dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Selain mengkhianati konstitusi, Jokowi juga layak dicap sebagai Pengkhianat Demokrasi. Seperti diketahui, PDI Perjuangan yang telah memberinya karpet merah, mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden RI selama dua periode, dikhianati dengan dua hal. Pertama, Jokowi sebagai kader dan petugas partai PDI Perjuangan, di Pilpres 2024 malah mendukung Prabowo-Gibran, yang memang ia ciptakan, bukan pasangan yang diusung PDI Perjuangan, Ganjar-Mahfud.
Bahkan, dengan kekuasaan yang dimilikinya sebagai presiden, Jokowi dengan jumawanya mengatakan, “hebat kalau pasangan Ganjar-Mahfud bisa menang, PDI Perjuangan kalah (tidak menjadi pemenang Pemilu) dan PSI (Partai Solidaritas Indonesia–partai besutannya) akan masuk Parlemen (Senayan–DPR RI).” Sebagai Presiden, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, pernyataan ini tidak lazim.
Meskipun beberapa kali Jokowi menyatakan dirinya netral dan mengimbau ASN, TNI-Polri juga harus netral di Pemilu 2024, tapi faktanya Jokowi beberapa kali “cawe-cawe” dengan menggadaikan posisinya sebagai presiden. Ia terlihat tak mau kalau anak lanangnya, Gibran, sampai kalah di kontestasi Pilpres 2024.
Pengkhianatan Demokrasi berikutnya yang dilakukan Jokowi adalah menjadikan anak bontotnya, Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI. Partai anak muda yang baru dimasuki Kaesang beberapa hari tapi langsung dirinya didaulat sebagai Ketua Umum partai tersebut. Lantas, dimana semangat demokrasi di partai yang kala itu tiba-tiba baligho partainya begitu banyak tersebar di seantero negeri, mengalahkan jumlah kadernya sendiri.
Beragam pengkhianatan yang dilakukan Jokowi hingga bermuara pada Pemilu 2024 yang penuh kecurangan, manipulatif dan intimidatif telah mengorbankan Kedaulatan Rakyat. Bahkan, media internasional Australia The Courientmail sampai membuat pemberitaan dengan ilustrasi telapak tangan Jokowi penuh darah.
Ini saatnya Rakyat Indonesia bangun dari tidur panjangnya, Machtsvorming, galang kekuatan melawan Tirani Pemilu Curang 2024… “Rediscovery of Our Revolution”, temukan kembali Jalan Revolusi kita. Merdeka!
Oleh:
Nuryaman Berry Hariyanto
Sekadar Aktivis 98