UNDANG-UNDANG No. 20 Tahun 2023 memuat ketentuan undang-undang ketenagakerjaan yang cukup kontroversial, khususnya Pasal 53(1)C. Pasal tersebut mengatur mengenai pemberhentian pegawai negeri non-pegawai negeri (PNS) dan pegawai negeri dengan kontrak kerja (PPPK) yang mengambil di luar tangung jawab negara. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan disiplin lembaga negara, namun hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan perdebatan.
Pertama, kita perlu memahami latar belakang dari pembentukan regulasi ini. Argumentasi yang mungkin dilakukan adalah menjaga produktivitas dan kinerja PNS dan PPPK. Namun, banyak pemangku kepentingan percaya bahwa hal ini dapat dianggap sebagai pembatasan hak pribadi karyawan.
Liburan adalah hak yang harus dinikmati seluruh karyawan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan pribadi dan kesehatan mentalnya. Ketentuan ini juga dapat dianggap sebagai bentuk campur tangan yang tidak semestinya terhadap kehidupan pribadi seorang pekerja. Meski negara berkepentingan untuk memastikan pelayanan publik tetap berjalan tanpa hambatan, namun pemberian cuti tidak boleh dilihat sebagai tindakan yang membenarkan PHK sementara.
Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa PHK ini dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap keamanan ekonomi para pekerja, terutama mereka yang bergantung pada pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jika PHK dilakukan tanpa pertimbangan matang, ketidakpastian dan kekhawatiran antara otoritas dan PPPK bisa meningkat. Aspek lain yang perlu dikaji adalah dampak kebijakan ini terhadap kesetaraan dan keberagaman gender.
Adakah potensi diskriminasi atau kesenjangan dalam penerapan kebijakan ini? Misalnya, apakah ada pengecualian atau akomodasi untuk kebutuhan khusus, seperti kehamilan atau tanggung jawab keluarga, yang mungkin mengharuskan karyawan mengambil cuti yang tidak ditanggung oleh pemerintah?
Sementara itu, penting untuk menilai apakah ada kebijakan alternatif yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan tanpa mengorbankan hak-hak individu pekerja.
Adakah cara untuk meningkatkan manajemen kinerja atau menetapkan jangka waktu maksimum cuti non-pemerintah tanpa memerlukan PHK sementara?
Selain itu, perlunya transparansi dalam proses pengambilan keputusan PHK perlu dipertimbangkan. Bagaimana mekanisme evaluasi dan pengambilan keputusan akan diterapkan untuk menghindari ruang penyalahgunaan kebijakan ini?
Perspektif jangka panjang perlu dipertimbangkan ketika menilai dampak kebijakan ini. Bagaimana kebijakan ini mempengaruhi motivasi karyawan dan loyalitas fasilitas? Apakah potensi ketidakpuasan dapat berdampak pada produktivitas atau kualitas layanan publik?
Dalam konteks ini, pastikan bahwa peraturan-peraturan tersebut tidak melanggar hak-hak dasar pekerja dan menciptakan kesenjangan yang tidak perlu. Sangat penting untuk memastikan bahwa hal ini tidak terjadi. Penting juga untuk memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengekspresikan pandangan mereka mengenai kebijakan ini melalui forum dan mekanisme keterlibatan lainnya.
Hal ini memungkinkan kebijakan yang dihasilkan mencerminkan kepentingan dan kebutuhan mayoritas karyawan. Meski tujuan peningkatan efisiensi dan disiplin aparatur negara masih belum maksimal, namun penerapan kebijakan PHK PNS dan PPPK yang mengambil cuti di luar kewenangan negara perlu dipertimbangkan secara matang. Kepentingan nasional harus diimbangi dengan hak individu pekerja untuk memastikan kebijakan dianggap adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Dalam konteks perdebatan mengenai Pasal 53(1)C UU No. 20 Tahun 2023, penting untuk menyeimbangkan efisiensi lembaga negara dengan hak individu pekerja. Meskipun tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan disiplin lembaga-lembaga negara sudah jelas, perhatian serius perlu diberikan terhadap potensi dampak negatifnya terhadap kehidupan pribadi dan ekonomi para pekerja.
Keputusan kebijakan harus mempertimbangkan aspek-aspek seperti kesetaraan gender, perlindungan terhadap kebutuhan khusus, dan transparansi dalam proses pemberhentian. Penilaian yang cermat terhadap dampak jangka panjang, motivasi staf, dan kualitas layanan publik juga diperlukan. Melibatkan karyawan dalam pengembangan kebijakan dan menemukan solusi alternatif yang mencapai tujuan tanpa mengorbankan hak-hak individu merupakan hal yang penting untuk menciptakan kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan konsisten dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Dalam kesimpulannya, kepentingan nasional dalam meningkatkan efisiensi dan disiplin lembaga negara harus diimbangi dengan hak individu pekerja. Kebijakan pemberhentian PNS dan pegawai PPPK yang mengambil cuti perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak melanggar hak-hak dasar pekerja dan menimbulkan celah yang tidak diperlukan.
Transparansi, partisipasi pegawai dalam proses kebijakan dan evaluasi yang cermat adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut adil, berkelanjutan dan memenuhi kebutuhan mayoritas.
Mempertahankan produktivitas juga memerlukan eksplorasi alternatif yang tidak melanggar hak-hak individu pekerja, dan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap motivasi dan loyalitas karyawan. Kesimpulan ini menyoroti pentingnya memastikan bahwa kebijakan tidak hanya mendukung kepentingan nasional namun juga melindungi hak-hak pekerja dalam jangka panjang.
Penulis:
Marta Laura Sugiarto
Mahasiswi Universitas Pamulang
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.