PERKAWINAN adalah suatu ikatan yang sangat sakral antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam membangun mahligai rumah tangga dengan tujuan untuk mencapai keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Dalam pandangan Islam pernikahan tujuan pernikahan bukan hanya untuk membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera, tetapi perkawinan adalah suatu ibadah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW agar memperoleh ridho Allah SWT.
Sudah sejak dulu masyarakat baik yang sudah mengenal adanya agama atau masyarakat yang belum mengenal agama pada umumnya mereka sudah melakukan praktek-praktek pernikahan, karena pernikahan adalah sudah merupakan kebutuhan di dalam masyarakat. Walaupun tata cara, model pernikahan tentunya dilaksanakan atas dasar aturan agama, kepercayaan dan adat istiadat masing-masing masyarakat.
Di dalam perkembangan masyarakat yang begitu cepat dan didukung dengan adanya keterbukaan serta masuknya ke era globalisasi, hal-hal yang pada awalnya bersifat taboo (dilarang) misalnya berkenaan dengan perkawinan beda agama pada akhir-akhir ini marak terjadi dalam praktek masyarakat walaupun dalam perspektif yang berbeda-beda.
Misalnya pasangan pria dan wanita warga negara Indonesia melangsungkan perkawinan beda agara di luar negeri, kemudian mengajukan pencatatan ke dinas catatan sipil bahkan ada yang mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan. Atas dasar itulah dalam rangka menertibkan praktek-praktek tersebut dan dengan merujuk kepada putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU/XII/2014, maka lahirlah Fatwa Mahkamah Agung RI No. 231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019 tentang Perkawinan Beda Agama.
Analisa Permasalahan
Analisa permasalahan dan dalam rangka memberikan pendalaman dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut:
Aspek Historis
Sejarah perkawinan pada era colonial pada saat dimulainya hokum barat (Belanda) masuk ke Indonesia pada tahun 1956 seiring dengan gerakan kolonialisasi. Dengan dalih memperluas wilayah perdagangan, maksud semula berdagang berubah menjadi menjajah. Agar maksud ini lancar, Pemerintah Hindia Belanda memberikan wewenang penuh kepada perusahaan perdagangan Belanda, V.O.C (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk mendirikan benteng-benteng pertahanan dan mengadakan perjanjian-perjanjian dengan raja-raja di Indonesia.
Oleh karena itu, V.O.C, mempunya dua wewenang, yakni sebagai pedagang dan sebagai badan pemerintah. Adapun contoh badan dalam pemerintahan bahwasanya pada era pemerintahan colonial Belanda terdapat beberapa ketetapan-ketetapan hokum yang dibuat berkenaan terkait hokum perkawinan, antara lain:
Pertama, bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hokum adat; Kedua, Khusus bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islan, berlaku hukum perkawinan Islam; Ketiga, khusus bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI); Keempat, Khusus bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW); bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan campuran (Staatblad 1898 No. 156), atau GHR (Muh. Ali Wafa, 2019).
Sejarah perkawinan pada era pasca kemerdekaan, dimulai dengan ditetapkannya pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor : 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah Thalak Rujuk yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura serta Instruksi Menteri Agama Nomor : 4 Tahun 1947 tentang Pegawai Pencatat Nikah.
Namun, meskipun telah beruapaya menyusun peraturan yang megatur tentang masalah perkawinan pun dirasakan tidak memenuhi kebutuha masyarakat secara umum, dan perempuan secara lebih khsusu. Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Thalak dan Rujuk, dirasakan kurang menyeluruh sehingga terjadi perkembangan atas dorongan para akademisi dan rakyat yang menghendaki adanya undang-undang yang berskala nasional tidak parsial kewilayahan, maka dengan dorongan kuat tersebut lahirlah Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 yang dinyatakan berlaku secara nasional.
Sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diawali dengan lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Peradilan menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1948, yang pada dasarnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 pemerintah secara resmi mengakui adanya peradilan islam sebagai peradilan yang sah menurut hukum.
Diawali dengan adanya usulan RUU yang baru No. R.02/PU/VII/1973 tertanggal 31 Juli tahun 1973, pemerintah menyampaikan tentang RUU tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat, yang terdiri atas 15 (lima belas) Bab dan 73 (tujuh puluh tiga) Pasal. Dengan dasar itulah maka lahir Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974. No. 3019).
Aspek Yuridis
Landasan hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan perkawinan termasuk di dalamnya mengatur perkawinan yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan :
Negara Indonesia adalah Negara Hukum Yang Berdasarkan Pancasila di mana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 29 ayat(1) UUD 1945 menetapkan bahwa Negara bedasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menetapkan : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pasal 1 UU Perkawinan menetapkan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 ayat (1) menetapkan bahwa : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Pasal 2 ayat (2) menetapkan bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa : Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menetapkan : Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak bergamama Islam.
Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam menetapkan : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Berkenaan dengan berbagai pandangan yang berhubungan dengan perkawinan beda agama, beberapa kelompok masyarakat telah mengajukan uji materi pasal yang mengatur perkawinan beda agama dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan No 68/PUU/XII/2014 tentang pernikahan beda agama. Secara ringkas dari putusan MK tersebut dapat dilihat dari apa yang dimohon para pihak (petitum) dan bagaimana amar putusan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut :
Pemohon:
Damian Agata Yuvens, sebagai Pemohon I
Rangga Sujud Widigda, sebagai Pemohon II
Varida Megawati Simarmata, sebagai Pemohon III
Ambar Jayadi, sebagai Pemohon IV
Luthfi Saputra, sebagai Pemohon V
Petitum:
Menerima dan mengabulkan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya. . Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono).
Amar putusan:
Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
(https://www.mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara_1230_Perkara)
Aspek Empiris
Berkenaan dengan perkawinan beda agama, secara faktual telah terjadi praktek-praktek perkawinan beda agama di masyarakat antara pria dan wanita warga negara Indonesia, yang dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang telah dicatatkan di kantor catatan sipil dan atau yang telah dijukan penetapan dan diputus oleh pengadilan negeri.
Dari berbagai pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama ke pengadilan, diantaranya dapat melihat kepada putusan-putusan sebagai berikut :
Putusan PN. Kabupaten Semarang No. 42/Pdt.P/2014/P.N.Unr tertanggal 10 Juli 2014. Pemohon : Purwaningsinh. Amar putusan : M E N E T A P K A N : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon tersebut ; 2. Memberikan izin melangsungkan perkawinan kepada Pemohon PURWANINGSIH dengan IRFAN K.LAHAY untuk dapat dicatatkan di kantor Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Semarang ; 3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Ungaran agar segera mengirimkan salinan penetapan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai kepada Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Semarang agar digunakan sesuai keperluan itu ; 4. Membebani pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 196.000,00 (seratus sembilan puluh enam ribu rupiah)
Putusan PN Lubuk Linggau No. 3/Pdt.P/2015/Pn.Llg tertanggal 27 Februari 2015. Pemohon : Irwan Wijaya. Amar putusan : MENETAPKAN : 1. Mengabulkan Permohonan dari Pemohon untuk seluruhnya; 2. Memberikan izin kepada Pemohon yang berbeda agama untuk melangsungkan pernikahan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Memerintahkan agar Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Lubuklinggau untuk mencatatkan pernikahan Pemohon yang bernama CLARAMITHA JOAN dan calon suami IRAWAN WIJAYA dalam register yang tersedia untuk itu; 4. Membebankan biaya permohonan kepada pemohon sebesar Rp.221.000,- (dua ratus dua puluh satu ribu rupiah);
Putusan PN. Kabupaten Banyuwangi No. 14/Pdt.P/2015/P.N. Bwi. Tertanggal 17 Februari 2015. Pemohon : Agus Pujianto. Amar putusan : MENETAPKAN : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon ; 2. Menyatakan bahwa pada hari Minggu tanggal 18 Januari 2015 telah dilangsungkan perkawinan secara agama Kristen di Gereja Bethel Indonesia, sebagaimana tersebut dalam Akta Nikah No. 81/PN/GBI/F/01/2015, tertanggal 18 Januari 2015, antara pasangan suami istri AGUS PUJIANTO dengan EVELINE DJOHAN ; 3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Banyuwangi untuk mengirimkan salinan resmi Penetapan ini ke Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Banyuwangi agar dalam perkawinan Pemohon dicatatkan dalam Regester perkawinan menurut tata cara yang telah ditentukan oleh Undang-undang ; 4. Membebankan biaya perkara permohonan ini kepada Pemohon yang hingga hari ini diperhitungkan sebesar Rp. 156.000,- (Seratus lima puluh enam ribu rupiah). (https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html/?q)
Atas pertimbangan beberapa putusan Pengadilan Negeri itulah dan dalam rangka menciptakan ketertiban dan kepastian hukum maka lahirlan Fatwa Mahkamah Agung RI No. 231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019 tentang Perkawinan Beda Agama, yang secara umum menjelaskan bahwa
“Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan, misalnya jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatat di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan didasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di kantor urusan agama. Dan berkenaan dengan hal tersebut Amran Suadi salah seorang hakim agung di Mahkamah Agung menyatakan bahwa “Agama tidak bisa dikawinkan, jadi tidak ada kawin beda agama. Yang bisa kawin hanya orang yang berbeda agama. Tentu dengan cara yang sah menurut agama dan kepercayaannya itu.silahkan masing-masing dengan agamanya tetapi ketika menikah harus menurut tatacara yang sah menurut agama. Jika sudah sah silahkan dicatat, jangan dijadikan pengadilan sebagai lembaga kepenghuluan”.
Aspek hak asasi manusia
Ketentuan secara umum yang mengatur hak azasi manusia dapat melihat ke dalam piagam Universal Declaration of Human Rights yang dideklarasikan oleh Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 yang di dalamnya terdiri Mukadimah dan 30 Pasal, yang secara umum mengatur tentang hak azasi manusia. Negara Republik Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak azasi manusia telah mengadopsi UDHR – 1948 ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada saat dilakukannya amanden yang ke dua pada tahun 2000, yang telah mengatur ketentuan khusus tentang hak azasi manusia, dimulai pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, 28J. Kalau melihat ketentuan tersebut dalam pandangan penulis hampir seluruh isu-isu hak azasi manusia yang diatur dalam pasal-pasal UDHR – 1948 telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Namun demikian Undang-Undang 1945 juga telah mengatur pembatasan-pembatasan dalam pelaksanaan hak zasi manusia agar dapat dilaksanakan secara seimbang antara semua komponen masyarakat dan bangsa, sebagaimana yang diatur dalam :
Pasal 28I (5) menyebutkan bahwa : Untuk menegakan dan melindungi has asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak azasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28J (2) menyebutkan : bahwa : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Sebagai implementasi dari diadopsinya UDHR – 1948 PBB ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia dan telah bentuk lembaga negara ad-hoc yaitu Komisi Hak Azasi Manusia Republik Indonesia.
Kesimpulan
Atas dasar konsep negara hukum sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, Keputusan MK No. No 68/PUU/XII/2014 tentang pengujian Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan beda agama, serta Fatwa MA – RI No. 231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019 tentang Perkawinan Beda Agama atas telah terjadinya putusan-putusan pengadilan negeri yang memutuskan permohonan pernikahan beda agama serta memperhatikan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur hak azasi manusia, maka berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia, negara tidak mengakui adanya pernikahan beda agama
Kepada masyarakat yang atas dasar pertimbangan hak azasi manusia berpandangan bahwa pernikahan beda agama adalah hak masyarakat, dapat menyampaikan pandangan tersebut kepada lembaga yang berwewenang dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar segera diperbaharui dan khususnya perkawinan beda agama dapat juga diatur dalam undang-undang tersebut agar hak-haknya dijamin oleh undang-undang.
Penulis:
Dr. Yoyon Mulyana Darusman, S.H., M.M
Dosen Program Studi Magister Hukum Universitas Pamulang Kota Tangerang Selatan